Wednesday, May 4, 2016

Antara Anak Jawa dan Orang Jawa

Meskipun saya lahir dari ibu yang fasih berbahasa Jawa, apakah saya pantas disebut sebagai orang Jawa? Terlebih saya tidak bisa bicara pakai bahasa Jawa. Walau kalau ada yang bicara Jawa ngoko apalagi ngapak saya masih paham maksudnya. Juga, saya tidak pernah tinggal di tempat yang sekelilingnya orang Jawa semua, karena saya selalu tinggal di kota. Tetapi kalau ditanya kawan; Kamu orang mana? Maka spontan saya akan bilang saya orang Jawa.
Sampai lah saya pada suatu kesempatan penelitian kebudayaan di pedalaman Magelang. Saya datang ke suatu wilayah di kaki Gunung Merapi yang sejuk dan permai, dimana warganya masih banyak yang suka menari, menabuh gamelan, dan meletakan sajen di depan pohon beringin. Mereka semua tentu saja berbahasa Jawa. Dalam kajian Jawa, tempat yang saya datangi ini dikenal sebagai kantung-kantung pelaksana tradisi Jawa di luar keraton atau non keraton centris. Nah, di luar peran saya sebagai peneliti, kejawaan saya sebagai orang yang mengaku-ngaku Jawa tentu diuji di sini. Ternyata ke-Jawa-an saya di sana tidak diakui karena saya tidak bisa berkomunikasi dalam bahasa Jawa. Namun saya belum berkecil hati, karena biar tidak bisa bahasanya, saya harap perilaku saya mencerminkan keluhuran budi orang-orang Jawa. Memang seperti apa perilaku orang Jawa? Saya juga tidak sepenuhnya tahu. Tapi saya bisa ceritakan satu contoh kegiatan yang khas Jawa dan perilaku seperti apa yang saya tangkap dari sana, yaitu rewang.
"Rewang saat suran di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang"
Sederhananya, rewang adalah kegiatan membantu tetangga atau kerabat yang sedang punya hajatan. Biasanya perempuan bantu memasak, laki-laki membantu dekorasi, bersih-bersih, dan menyajikan makanan kepada tamu. Jika sanggup, selain sumbang tenaga, tetangga dan kerabat juga menyumbangkan kelebihan hasil tani atau bahan makanan kepada yang punya hajat. Hajatan yang dibantu biasanya pesta pernikahan atau sunatan. Karena di tempat penelitian saya ini masyarakatnya masih menggeluti kesenian dan melaksanakan perayaan-perayaan tradisional, warga juga rewang untuk hajatan-hajatan seperti itu. Dua kali saya ikut rewang, pertama pesta pernikahan tetangga induk semang saya, kedua perayaan suran sebuah padepokan seni.
Karena saya perempuan, tentu saya diminta bantu memasak. Dalam kedua hajatan yang saya rewang itu, saya lihat masakan yang dibuat bukan main banyaknya. Untuk pernikahan sekitar seribu porsi, untuk suran kira-kira dua ribu lima ratus porsi. Jika buat hajatan di kota, bayangkan berapa harga yang mesti dibayar jika pesan makanan dengan porsi sebanyak ini ke catering. Satu porsi makanan biasanya dipatok perusahaan catering seharga empat puluh ribu rupiah. Kalikan harga itu dengan dua ribu lima ratus porsi, maka jumlahnya jadi seratus juta rupiah. Sedangkan, perayaan suran di padepokan seni kemarin hanya menghabiskan tiga puluh juta untuk keseluruhan acara, mencakup dekorasi, sound sistem dan tetek-bengek keperluan acara lainnya. Padahal, saat acara saya makan daging kambing sampai puas, ngambilnya juga tidak berebutan karena takut kehabisan seperti saat kondangan di kota.
"Saat rewang, tugas perempuan biasanya mengolah bahan makanan di dapur. Sedangkan laki-laki membuat dekorasi dan menyajikan makanan kepada tamu, istilahnya 'laden'."
Intinya, rewang tentu kegiatan yang sangat menekan biaya pelaksanaan hajatan. Karena sebagian besar tenaga dan bahan makanan datang sendiri ke tempat hajat tanpa minta bayaran. Soal kemewahan dekorasi dan sajian makanannya tentu tidak bisa dibandingkan dengan orang kota. Orang di kota bisa membayar harga sepuluh juta hingga tak terhingga untuk dekorasi pesta pernikahannya yang terdiri dari pelaminan, tirai-tirai cantik, ukiran-ukiran es, dan rangkaian bunga-bunga. Juga empat puluh juta untuk seribu porsi makanan. Namun di desa, dekorasinya hanya dari daun kelapa dan kembang-kembang yang tumbuh di pekarangan. Makanannya pun khas pedesaan. Tetapi dengan latar belakang sawah luas, sejuknya udara pegunungan, dan alunan gending, nuansa perayaan di sana buat saya megah dan magis.
Lalu, mengapa para tetangga dan kerabat mau saja sumbang makanan dan capek-capek bantu yang punya hajat tanpa minta bayaran? Pertanyaan ini dijawab oleh pimpinan padepokan:
“Kita sebagai manusia itu wajib membantu, karena suatu saat kita pasti butuh bantuan orang lain.” Praktisnya begini, mereka mau bantu karena nanti saat mereka punya hajat, mereka juga butuh bantuan serupa yang mereka beri sekarang. Jika saat ini memberi beras maka nanti akan dibalas beras, gula diganti gula, dan jasa memasak dibalas dengan begitu juga. Kalau mereka sekarang tidak mau bantu, maka bisa-bisa tak ada bantuan mengalir ke tempat mereka ketika dibutuhkan. Istilahnya, bantuan yang diberikan ini bukan tanpa pamrih. Pamrih ini bisa dibayar kapan pun, bahkan bisa jadi diturunkan ke anak cucu. Jadi, biar dalam Islam pamrih dikelompokan sebagai perbuatan tercela, kegiatan bertukar jasa dengan pamrih di Jawa justru membangun hubungan antara dua orang, atau dua kelompok, dalam waktu yang panjang sampai pamrih terbayar. Tetapi siklus pamrih tidak akan terputus. Karena khawatir mendapat perlakuan yang serupa dimasa depan jika pelit, orang-orang terdorong saling membantu dan membalas bantuan.
"Dekorasi saat suran"
Jadi selain membangun hubungan jangka panjang, pamrih juga mendorong orang-orang Jawa untuk berbuat baik. Mungkin karena itu, orang Jawa di sana sangat terbuka, ringan tangan, ramah, dan tidak curigaan terhadap orang asing. Karena siapa saja, bisa jadi adalah penolong dimasa depan. Saya simpulkan, setidaknya dua perilaku orang Jawa yang saya lihat dari kegiatan rewang. Pertama mereka mau membantu kerabatnya (tetangga satu dusun atau antar dusun dan saudara), bukan dengan harapan uang tetapi bantuan serupa dimasa depan. Kedua, dengan ini orang Jawa punya satu sistem yang mendorong mereka untuk menjaga relasi, berbuat baik, terbuka, ramah, dan ringan tangan terhadap orang lain. Bagaimana dengan saya? Saya ini hidup di kota, dimana orang-orang tidak punya banyak waktu dan tenaga yang bisa diberikan secara cuma-cuma kepada orang lain. Sikap ini yang disyukuri banyak pengusaha, salah satunya pengusaha catering. Kalau orang-orang kota masih menjalankan rewang, perusahaan catering pasti bubar. Intinya, saya terbiasa bertransaksi dengan uang. Dalam kegiatan transaksi macam ini, tidak ada hubungan jangka panjang yang terjalin. Misalnya saya menikah, urusan saya dengan penyaji makanan selesai saat biaya catering saya lunasi. Jangankan dengan mereka, dengan tetangga saja sejujurnya saya tidak kenal. Saya juga tidak terbuka, ramah, dan ringan tangan kepada orang yang tidak dikenal. Selain karena tidak merasa perlu melakukan hal itu, orang kota memang cenderung curigaan dengan orang asing. Khawatir mereka pencopet atau penipu.
Jadi, saya tidak bisa bahasa Jawa, tidak terbiasa membantu orang lain (tetangga misalnya), dan curigaan terhadap orang asing, lalu apakah saya masih pantas disebut sebagai orang Jawa? Jika kebudayaan adalah bahasa dan perilaku, tentu jawabannya tidak! Saya rasa anak-anak orang Jawa lain yang tinggal di kota juga lebih mirip saya perilakuknya ketimbang orang-orang di Magelang. Tapi meski krisis identitas, ketika menikah banyak dari kami yang tidak malu-malu pakai riasan dan kostum tradisional Jawa seperti paes, kebaya dan kain lilit. Bahkan, dilangsungkan juga seremoni khas Jawa seperti sungkeman dan injak telur. Padahal, sehari-hari, kami sebagai anak tidak jaga perilaku dan ucapan kepada orang tua. Istri yang basuh kaki suaminya di hari pernikahan juga tidak merasa itu peringatan agar kelak jadi perempuan yang manut dan ngeladeni laki-lakinya. Mungkin riasan dan kostum tradisional dimaksudkan untuk menonjolkan kecantikan dan kegagahan pasangan pengantin yang wajah dan perawakannya sangat “daerah”. Mungkin seremoni adat dimaksudkan agar acara sesuai dengan dengan kostum dan riasannya saja. Atau, bisa jadi calon pengantin terpaksa pakai pakaian dan riasan adat karena diminta orang tua yang biayai pesta pernikahannya. Atau mungkin, calon pengantin terbawa saja karena sedang tren. Tapi yang jelas, di kota, identitas suku tidak mewujud pada perilaku individu dalam sosial, tetapi pada kostum, riasan, kuliner, dan atribut-atribut lain yang sekiranya trendy dan laku dijual.

No comments:

Post a Comment