Monday, February 6, 2017

Memperdagangkan Budaya di Tana Toraja, Indonesia

Penulis: Adams Kathleen M.
Tahun terbit: 1990
Alih bahasa: Ariane Meida
Tautan asli: https://www.culturalsurvival.org/publications/cultural-survival-quarterly/cultural-commoditization-tana-toraja-indonesia
[sumber gambar: twisata.com]
Pada tahun 1984, Direktur Jenderal Pariwisata Indonesia (saat itu dijabat Joop Ave) mendeklarasikan Kabupaten Tana Toraja sebagai primadona destinasi wisata di Sulawesi Selatan. Sekitar 15 tahun setelahnya, orang-orang Toraja yang tinggal di dataran tinggi Sulawesi berubah dari kekaburan antropologi menjadi selebriti wisata. Orang Toraja Sa’dan (salah satu sub suku Toraja yang mendiami Tana Toraja di dataran tinggi) jumlahnya sekitar 346.000 orang. Mereka terkenal karena ritual penguburan yang spektakuler, kompleks makam dan patung-patung yang berjajar di tebing, dan ukiran-ukiran khas pada arsitekturnya. Orang-orang Toraja yang setia melestarikan tradisi yang sangat membangkitkan minat para pelancong ini, didominasi oleh umat Kristiani yang merupakan minoritas di Indonesia yang didominasi Muslim. Gelombang turis yang terus meningkat ke Tana Toraja memberikan sejumlah masalah baru kepada orang-orang Toraja. Beberapa aspek mengenai masalah ini telah dibahas di tulisan lain (Adams 1988; Crystal 1977; Volkman 1982); sedangkan artikel ini akan fokus pada konflik yang menyeruak antara pemimpin lokal dengan pemerintah Indonesia yang terlibat dalam perencanaan pariwisata dan zonasi daerah pariwisata.
Sebagai upaya kita untuk memahami bentrokan tersebut secara menyeluruh dan menemukan solusi yang membangun, kita harus mempertimbangkan beberapa masalah yang berkaitan. Pertama, kita perlu menghargai konsepsi orang-orang Toraja mengenai kepemilikan dan otoritas dan memperhatikan bagaimana hal tersebut bertentangan dengan gagasan-gagasan yang diajukan oleh para pengembang pariwisata yang berasal dari luar suku. Kedua, kecenderungan para perancang pariwisata yang menganggap desa tempat hidup (di Tana Toraja) sebagai “objek” harus dihentikan; sebagian konflik di Toraja berhulu dari bagaimana sikap para konsultan (pariwisata) memperlakukan tempat-tempat yang menarik perhatian turis, seperti rumah Toraja dan kuburan, sebagai objek yang terpisah dari kehidupan orang-orang Toraja yang tradisional. Ketiga, kita harus mengakui bahwa pembangunan kerap tumpang tindih dengan struktur perseteruan antar etnik dan penduduk lokal yang telah ada sebelumnya.
Pariwisata di Tana Toraja
Setelah digembar-gemborkan sebagai “destinasi wisata kedua setelah Bali”, Kabupaten Tana Toraja semakin menarik perhatian turis lokal dan internasional. Pada tahun 1972 wisatawan asing yang mengunjungi dataran tinggi Toraja hanya berkisar 650 orang; namun semenjak tahun 1985 lebih dari 15.000 wisatawan asing dan hampir 80.000 wisatawan domestik mengunjungi daerah ini setiap tahun, dan pada tahun 1987 total 179.948 wisatawan telah jalan-jalan ke Tana Toraja. Dua puluh tahun yang lalu, rumah adat Toraja (tongkonan) dan kompleks makam di tebing batu hanya diketahui oleh orang-orang Indonesia, antropolog, dan misionaris. Akan tetapi saat ini, tidak ada catatan atau cerita wisata di Asia Tenggara tanpa setidaknya satu paragraf khusus tentang Toraja. Seperti artikel Sunset (lihat referensi) baru-baru ini yang menyatakan, “Disini [di Tana Toraja] kalian bisa merasakan sekilas bagaimana kesan para antropolog melihat kebudayaan masa lampau, gaya bangunan yang memukau, cara penguburan yang tidak biasa, dan mungkin kita mendapat kesempatan menyaksikan sendiri upacara pemakaman yang meriah” (Holdiman, 1985). Melalui pariwisata, gambaran ini lekas menjadi ikon kebudayaan eksotis dunia.
Menuliskan dampak pariwisata di utara Thailand, Cohen (1979) mencatat bahwa “pariwisata memberikan gambaran menarik mengenai suatu daerah dan diproyeksikan kondisinya tidak pernah berubah, sehingga memberikan harapan-harapan tertentu kepada para wisatawan… tetapi pada saat bersamaan, pengenalan pariwisata merubah lokalitas, menggerus tampilan fisik dan cara hidup hingga melampaui gambaran pariwisata yang tersebar.” Ketika saya tiba di Sulawesi pada tahun 1984, pejabat pemerintah mulai menemukan kenyataan dari hasil observasi Cohen. Serbuan wisata mulai merubah lanskap Toraja: pedagang lokal mulai mendirikan toko-toko souvenir di beranda rumah adat mereka, pedestrian baru dari semen berkelok-kelok sepanjang desa, gerbang-gerbang lengkung dan beratap seng bermunculan di sekitar tebing kompleks makam Toraja yang terkenal. Para wisatawan mulai mengeluh bahwa apa yang mereka lihat saat ini (desa tradisional dan makam tebing kapur) sudah terlalu komersial.
Rapat Zonasi Daerah Pariwisata
Karena gumaman ketidakpuasan para turis ini, muncul dorongan untuk membuat aturan formal mengenai tata wilayah wisata di daerah tersebut. Pada tahun 1985 pemerintah provinsi menetapkan 18 desa “tradisional” Toraja dan tebing makam sebagai “objek turis” resmi. Tim konsultan dari kantor pemerintah provinsi dikirim untuk mengevaluasi “objek turis” ini dan membuat rekomendasi lokasi-lokasi wisata. Ironisnya, tim tersebut tidak memiliki satu pun anggota yang berasal dari Toraja: para konsultan tersebut adalah orang-orang Bugis, Jawa, dan Mandar. Umat kristiani Toraja dalam sejarahnya memiliki hubungan yang ambivalen dengan orang Bugis, tetangga Muslim mereka yang mendominasi jabatan di pemerintahan provinsi. Perseteruan antara orang-orang Bugis dan Toraja terutama meruncing pada abad 18 dan 19, ketika mereka berkompetisi secara intens dalam sektor perdagangan kopi lokal dan jual beli budak (Bigalke, 1981). Selain itu, telah lama orang-orang Toraja salah paham dengan orang-orang Jawa, yang mendominasi jabatan di pemerintahan pusat. Sehingga, bagi orang-orang Toraja, konsultan pariwisata jelas-jelas orang luar yang turut campur urusan mereka. Menurut sebagian orang Toraja, perseteruan lama (antara Toraja dengan Bugis) kini muncul kembali dalam babak baru, dimana pada masa lampau orang-orang dari kerajaan tetangga datang untuk mencari kopi dataran tinggi dan budak, hari ini sumber daya Toraja yang mereka cari adalah turis-turis asing yang kaya raya.
Pada awal 1985 tim perencana menyelenggarakan pertemuan pertama untuk membahas zonasi (pariwisata di Tana Toraja) dengan pemerintah daerah dan elit-elit lokal Toraja. Setelah menjelaskan bagaimana zonasi akan memelihara kebudayaan Toraja dengan melindungi situs-situs wisata dan menghalau hal-hal yang artifisial, para konsultan yang berasal dari luar daerah tersebut meminta pendapat para elit lokal. Hal yang mengejutkan mereka, para bangsawan tersebut berlomba-lomba agar desa mereka masuk dalam daftar objek wisata; bahkan, banyak dari para bangsawan tersebut yang telah menyiapkan daftar alasan mengapa desa mereka yang layak mendapatkan perhatian. Rencananya, para konsultan menjabarkan, bahwa tujuan mereka adalah untuk membangun peraturan zonasi untuk objek wisata yang sudah ditetapkan, tidak untuk membangun yang baru. Para perwakilan Toraja terlihat tidak senang dengan statemen tersebut.
Para konsultan lanjut berkata bahwa mereka memang bermaksud mengajukan zonasi untuk area baru, yang mereka sebut sebagai “area bebas tradisi”. Para perencana memohon bahwa di tempat yang akan ditetapkan ini, orang-orang Toraja akan mempertunjukan tari yang biasa ditampilkan di dua ritual Toraja yang berbeda (yaitu ritual Rambu tuka atau asap naik yang melambangkan kehidupan dan Rambu solo atau asap turun yang melambangkan kematian) untuk wisatawan secara reguler. Beberapa pusat-pusat pertunjukan juga akan diminta mengijinkan wisatawan untuk menyaksikan tari dan khasanah kebudayaan Toraja, meskipun datangnya tidak bertepatan dengan musim-musim perayaan ritual.
Tradisi Toraja melarang percampuran ritual dan tari mengenai kehidupan dengan ritual dan tari kematian. Para konsultan menyadari hal ini, tetapi menyatakan bahwa dalam zonasi daerah “bebas tradisi” mereka dapat mengatasi permasalahan tradisi ini dan mengejar tujuan pembangunan nasional. Para konsultan lebih lanjut juga menyatakan bahwa warga bisa menarik biaya masuk ke dalam area pertunjukan “bebas tradisi” ini, dan penari dari seluruh daerah Tana Toraja bisa datang dan tampil di sini untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Ketimbang menenangkan orang-orang Toraja yang hadir pada pertemuan tersebut, pemberitahuan ini justru semakin membuat para petinggi Toraja frustasi. Salah seorang Toraja bergumam, “Mereka pikir mereka mengerti tradisi kita, tetapi mereka sama sekali tidak mengerti - mereka mengundang kami datang untuk meminta masukan, tetapi mereka tidak mendengarkan. Apa gunanya?”
Ekonomi Versus Identitas Lokal
Ketika saya berbicara dengan para konsultan selepas pertemuan tersebut, saya mendapati bahwa mereka menginterpretasikan para perwakilan Toraja sangat menginginkan desanya ditetapkan sebagai “objek pariwisata” semata-mata demi keuntungan ekonomi. Benar, banyak orang Toraja bicara bahwa tunjangan pengembangan pariwisata seharusnya diberikan kepada wilayah mereka ([misalnya tunjangan] aspal jalan, kamar mandi, dan turis-turis asing yang kaya); tetapi para perencana telah mengabaikan hal lain, hal yang lebih penting, yaitu simbol dari otoritas lokal.
[sumber gambar: google]
Secara tradisional, setiap kelompok bangsawan-bangsawan Toraja mengklaim mereka memiliki kedudukan tinggi karena mereka adalah keturunan langsung para leluhur, yang dipercaya berasal dari nirwana dan turun ke puncak-puncak gunung di daerah tersebut berabad-abad lalu. Para leluhur ini yang pertama kali membangun tongkonan dengan ukirannya yang rumit, yang saat ini dianggap sebagai simbol status sosial bagi kaum elit. Singkatnya, rumah adat Toraja berkaitan erat dengan identitas dan status seseorang dalam sosial. Oleh sebab itu, para bangsawan dalam pertemuan menganggap penting jika tempat keramat mereka (rumah leluhur dan puncak gunung) diakui sebagai bagian penting dari sejarah Toraja dan layak dimasukan dalam peta pariwisata; dimana pengakuan ini dapat menyokong klaim mereka atas kedudukannya yang tinggi.
Para perencana pariwisata yang berasal dari luar (Toraja) tidak sepenuhnya menghargai pentingnya hubungan antara rumah leluhur dengan identitas, nor had they completely elites (keterbatasan kemampuan alih bahasa). Mereka terkejut dengan kekesalan yang muncul ketika satu desa secara resmi ditentukan sebagai objek wisata sedangkan desa yang lain tidak. Ketika mengakui satu desa sebagai objek wisata, mereka tidak menyadari bahwa mereka tengah mengangkat pamor satu bangsawan dan merendahkan yang lainnya.
Beberapa hari kemudian seorang kawan Toraya membagi analisanya mengenai konflik ini dengan saya. Dia mulai dengan menyatakan bahwa cara orang Toraja memandang hakikat otoritas sangat berbeda dengan para konsultan yang (sebagian) orang-orang Jawa:
Di Jawa, Raja adalah tetesan darah dari Tuhan, ia ada di puncak otoritas. Jadi bagi orang-orang Jawa, pemerintah adalah yang utama, mereka merepresentasikan keinginan Tuhan. Peraturan yang kemudian muncul dari kuasa pemerintahan Jawa - mereka (rakyat) menjadi alat-alat pemerintahan, dan akhirnya posisi rakyat ada di bawah. Jadi, ketika orang-orang Jawa ingin melakukan sesuatu, dia akan bertanya kepada dirinya sendiri, “Bagaimana menurut pemerintah?”
Hal ini, menurutnya, berseberangan dengan konsepsi tradisional Toraja mengenai tatanan otoritas.
Bagi orang-orang Toraja, peraturan itu sendiri (aluk) yang secara langsung terkait dengan Tuhan. Ketika leluhur-leluhur yang berasal dari nirwana datang ke bumi berabad-abad lalu, Tuhan memberi mereka 7.777 aturan tradisional mengenai perilaku untuk diterapkan di bumi. Jadi, bagi kami, peraturan datang terlebih dahulu, baru pemerintah, dan akhirnya rakyat-rakyatnya. Dalam pandangan kami, pemerintah hanyalah instrumen dari aturan-aturan. Ketika orang Toraja hendak melakukan sesuatu, kami selalu tanya kepada diri kami sendiri, “Apakah hal tersebut sesuai dengan aluk - peraturan?” Para perencana yang berasal dari Jawa tidak merasa ada masalah ketika peraturan diubah demi kepentingan penguasa - seperti zonasi untuk membuat area bebas tradisi. Tetapi bagi kami orang Toraja, aturan selalu menjadi yang utama - kalian tidak dapat merubahnya, karena mereka datang dari Tuhan.
[sumber gambar: google]
Hal yang penting dari uraiannya adalah analisa yang didasarkan pada kontras antar etnik: dia menekankan perbedaan mendasar cara pandang antara orang Jawa dengan orang Toraja. Pada dasarnya, bagi dia, permasalahan dari pengembangan pariwisata berasal dari orientasi (antar pihak) yang saling bertentangan. Seperti yang ia dan orang Toraja lain simpulkan, orang-orang Toraja harus mengontrol rencana pariwisatanya sendiri, karena para konsultan yang merupakan orang Jawa (dan orang Bugis) tidak memahami mereka.
Pertemuan Kedua
Konflik yang terjadi antara orang dalam dan orang luar ini kembali muncul pada pertemuan zonasi kawasan pariwisata kedua yang diselenggarakan tiga bulan kemudian. Dalam kesempatan ini, para konsultan secara resmi menyampaikan salinan rencana zonasi yang telah mereka susun untuk 18 objek wisata resmi di Toraja kepada para bangsawan. Semenjak awal nuansa pertemuan terasa tegang. Para pemimpin Toraja dengan tidak nyaman beralih dari tempat duduknya ketika para konsultan yang merupakan orang-orang Bugis, Mandar, dan Jawa meluncurkan master plannya mengenai pengembangan pariwisata. Ketika para konsultan menyampaikan rencana mereka untuk melarang perubahan apapun pada tongkonan dan kuburan (agar tetap otentik bagi para turis), orang-orang Toraja mulai menyuarakan kejengkelan mereka. Seseorang berdiri dan mengatakan bahwa zonasi rumah adat dan kuburan tidak sesederhana kelihatannya. Suaranya gemetar karena emosi saat berkata: “Tempat yang ingin anda tata tidak hanya dimiliki oleh satu orang, tetapi dimiliki oleh kelompok-kelompok dari masing-masing tongkonan. Setiap kelompok mungkin memiliki seratus, atau seribu anggota - hanya meminta pemimpin tongkonan untuk menyetujui rencana zonasi anda itu tidak cukup. Setiap anggota tongkonan harus setuju dengan rencana tersebut.” Salah seorang konsultan merespon pernyataan ini, “Iya, karena masalah kepemilikan ini, kami tidak menetapkan batas-batas wilayah yang spesifik - kami hanya meminta anda sekalian untuk menyetujui area yang ditunjuk tidak dibangun atau diubah. Tidak dipotong bambunya, tidak dibangun struktur bangunan baru, tidak ada toko souvenirnya.”
Pemimpin Toraja lain yang kharismatik, yang mempelajari literatur antropologi, berdiri dan memulai pernyataanya dengan kutipan dari salah seorang ilmuan sosial favoritnya:
Antropolog Ruth Benedict menunjukan bagaimana kebudayaan terintegrasi - hal-hal bercampur dan berbaur. Zonasi adalah langkah pertama dari suatu perubahan. Pada tahun 1969 antropolog Eric Crystal menulis, “Mungkin tidak ada wilayah yang mencerminkan esensi dari Asia Tenggara seperti Tana Toraja.“ Jadi, kita harus merangkul nilai-nilai kita. Jika kalian merubah sesuatu dan memaksakan zonasi kepada kami, kalian akan menghancurkan kebudayaan Toraja… Kalian para konsultan berasal dari luar, kalian tidak mengerti cara berpikir kami orang-orang dalam (Toraja).
Kepala konsultan secara halus menyatakan tidak setuju dan berkata bahwa dia memahami kebudayaan Toraja karena berasal dari pulau yang sama. Saat ia berbicara, orang-orang Toraja menggelengkan kepalanya dengan tidak senang; bagi mereka ia merupakan orang luar. Proposal zonasinya memicu ketakutan orang-orang Toraja bahwa tanah dan tongkonan tempat dimana identitas mereka terkait dicerabut dari kendali mereka. Pertemuan ditunda dalam nuansa tegang tak lama kemudian. Ketika mereka berjalan ke luar, beberapa orang berkomentar, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka. Jika mereka orang-orang luar memaksakan rencana mereka kepada kami lagi, kami akan menutup desa kami bagi para turis.”
Desa Tempat Hidup, Bukan “Objek Wisata”
[sumber gambar: Catharina Damrell/Indonesiaful]
Kasus ini mengilustrasikan kebutuhan untuk mempertimbangkan baik relasi etnik dan daerah (local) ketika menganalisa konflik dalam upaya pembangunan. Van den Berghe (1980) mengamati bahwa pariwisata selalu muncul dalam konteks relasi hubungan antar etnis yang telah ada sebelumnya. Dalam kasus Toraja terlihat, perseteruan yang mewarnai nuansa pertemuan perencanaan zonasi menjadi dua kali lipat, yaitu antara tetangga etnis (Bugis, Jawa, dll) dan antara elit-elit Toraja. Jelasnya, kedua faktor ini - kompetisi antar etnis dan antar elit - harus dipertimbangkan dalam upaya memahami konflik dalam rencana pembangunan.
Pada akhirnya, kosakata pengembangan pariwisata Indonesia menimbulkan permasalahan. Istilah resmi seperti atraksi wisata, objek pariwisata, memperkuat kecenderungan pengembang-pengembang yang berasal dari luar untuk mendekati desa hidup sebagai objek mati atau komoditas pariwisata. Proposal zonasi dibuat berdasarkan asumsi bahwa situs-situs terpisah dari kehidupan sosial. Ketika melarang orang-orang untuk mengubah rumah tradisionalnya (dalam beberapa kasus bahkan dipertanyakan (oleh konsultan) apakah tongkongan harus menjadi hunian, sebab okupansi manusia bisa merusak “objek wisata” ini), konsultan yang berasal dari luar mengabaikan hubungan antara manusia dengan strukturnya. Sampai saat ini, orang-orang Toraja masih menyatakan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan. Tetapi, ketika kita mulai mendengar ada tongkonan yang dijual ke museum di Barat, kita tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mempertanyakan kiasan impor yang menyebut desa hidup sebagai “objek”.
Epilog
Pada musim panas tahun 1987, desa Toraja Kete Kesu, Londa, dan beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai “objek wisata” menutup pintunya bagi turis. Kawan dari desa ini mengabarkan bahwa mereka berbuat demikian karena muak dengan pemerintah yang mencoba mengambil alih tongkonan mereka. Ancaman yang digumamkan saat pertemuan perencanaan pariwisata akhirnya menjadi kenyataan. Wisatawan yang turun dan bus dan van di Kete Kesu diinformasikan bahwa desa ditutup, dan sebuah tanda yang meminta pengunjung untuk menjauh ditulis dengan tangan dan digantung di gerbang kuburan Londa (Girsang 1987). Akan tetapi situs pariwisata ini tidak ditutup untuk waktu yang lama. Seperti yang diprediksikan pemerintah, dalam beberapa hari penduduk desa menyadari sulitnya bertahan tanpa pemasukan dari penjualan souvenir dan kemudian membuka desanya kembali untuk wisatawan. Ironis bahwa pariwisata, sebuah daya yang mampu membawa simbol-simbol Toraja ke mata dunia, tidak berarti memberi orang-orang Toraja kekuatan untuk berdaya atas hidupnya sendiri.

No comments:

Post a Comment