Saturday, June 23, 2018

Cara Asik Menikmati Pantai Wediombo Gunung Kidul Kala Libur Lebaran

Mumpung mudik ke Kebumen, Jawa Tengah, saya dan adik-adik rencana trip ke salah satu pantai di Yogyakarta. Setelah mencari info di internet, saya mengajak mereka kemping di Pantai Wediombo, Gunung Kidul.
Sudah lama saya mendengar eksotisnya pantai di Gunung Kidul. Dengernya sekilas-sekilas, sih. Katanya ombaknya besar karena langsung menghadap ke Samudra Hindia. Selain itu, pantai-pantai di Gunung Kidul berada di balik perbukitan karang. Jadi, meski menawarkan suasana santai kayak di pantai, Gunung Kidul juga menyuguhkan nuansa sejuk segar khas pegunungan. Belum lagi kalau baca artikel di blog-blog atau situs-situs pariwisata, pantai-pantai di Gunung Kidul disebut-sebut sebagai "hidden paradise". Dalam beberapa artikel, Pantai Wediombo jadi satu dari "Sepuluh Pantai Terindah di Gunung Kidul yang Wajib Kamu Kunjungi". Makin nggak sabar pengen cepat sampai di sana.
Singkat kata kami berangkat menuju lokasi menggunakan mobil Grand Max yang diisi cuma 4 orang, legaa rasanya. Dari kota Yogyakarta, kami menuju ring road selatan. Dari sana, kami dipandu google maps menuju Wediombo. Garing ya, saya nggak kasih tau info rute. Hehe.
Jalan menuju pantai lumayan naik turun dan berkelok-kelok. Sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan khas pedesaan. Hijau dan sepi. Bedanya kita dominan melihat perbukitan karang yang tidak bisa dijadikan sawah.
Sebelum sampai lokasi saya membayangkan pantai yang sepi, dengan pasir putih nan halus menghampar luas. Secara pantai-pantai di Gunung Kidul akses transportasinya terbatas dan butuh waktu tempuh kira-kira 2,5 jam dari pusat Kota Yogyakarta. Tapi ternyata eh ternyata, kawasan pantai Gunung Kidul eh buset ramai banget, Shay.
Saya tidak tau kalau hari itu begitu banyak orang yang ikut datang ke Gunung Kidul. Menurut portal berita online, hari saya berangkat, yaitu hari ke-3 lebaran termasuk salah satu hari dimana turis sedang ramai-ramainya menyerbu Gunung Kidul. Hari itu tercatat 70.000-an orang yang niatnya sama dengan kami. Pemerintah daerah kabarnya sampai amaze sendiri. Tahun ini lonjakan turis gila-gilaan.
Kami turut senang dengan pesatnya peningkatan kunjungan pariwisata ke Gunung Kidul. Tapi jujur, keramaian ini diluar ekspektasi kami. Tapi sudah jauh-jauh datang ke sini, masa mau pulang lagi. Oya, biar pun angka pengunjung sangat fantastis, sepanjang jalan kami sama sekali tidak merasakan kemacetan. Mungkin kami datang di jam yang lowong. Kami baru berangkat jam setengah dua siang dari Malioboro dan sampai sana jam empat sore. Saat kami sampai, sebagian besar turis sedang bersiap-siap pulang.
Segera kami sewa tenda. Biayanya Rp. 50,000 per tenda. Tempat penyewaannya bisa ditanyakan ke tukang parkir. Langsung juga kami makan Indomie rebus dan turun ke pantai. Sebelumnya saya tanya ke tukang parkir dimana letak pantai Wediombo, masa dia mengarahkan saya ke lokasi pantai yang berbeda, lho. Pantai di sini lokasinya memang berdekat-dekatan. Saya tidak yakin dengan petunjuk dari tukang parkir karena perasaan saya lihat penunjuk jalan ke arah pantai Wediombo tidak ke arah sana. Setelah menikmati mie rebus, saya tanya lagi ke penjual mie di mana letak pantai yang mau saya kunjungi itu. Alhamdulillah dia kasih petunjuk ke jalan yang benar. Jadi, kalau ke sini dan butuh info tentang sesuatu, baiknya double check ya, pemirsa.
Untuk sampai ke pantai kami harus turun melewati tangga. Di kanan kirinya, sudah penuh resort, rumah makan, kamar mandi, dan pedagang kaki lima yang jual gelang dan sebagainya. Sampai di pantai, kami disambut ribuan turis. Dari bayi hingga manula. Sepanjang pantai berjejer payung-payung dan tikar yang disewakan "Rp. 30,000 sampai sore". Mau diriin tenda dimana, nih. Batin saya dalam hati. Setelah berjalan terus ke arah kiri dari pintu masuk, kami melihat beberapa tenda berdiri. Lokasi itu memang agak sepi, tapi dihadapannya bukan pasir lagi. Landai sih, tapi itu semacam lantai karang.
Setelah tenda berdiri, kami coba main-main di pantai berlantai karang itu. Ombak sudah pecah kira-kira dua puluh meter di depannya. Kami berjalan menyusuri karang berlumut dan menemukan biota laut yang aneh-aneh. Ada bintang laut kecil, bulu babi, sampai entah spesies apa, bentuknya mirip lipan tapi panjangnya sampai 30 cm. Hiiyy...
Karena garing, saya coba terus menyusuri batuan karang ke arah selatan, menjauh dari keramaian turis. Dan voilaaa.. saya menemukan sebuah warung makan berbentuk rumah panggung di atas bukit. Saya hampiri dan melihat situasi. Setelah menyapa pemiliknya, saya izin mendirikan tenda di depan warungnya. Jadilah kami gotong tenda kami ke depan rumah makan di Bapak. Ah.. keramaian turis terlihat di kejauhan, ombak berdebur begitu dekat dengan kami namun kami terlindung dinding karang, kalau mau minum kopi atau makan tinggal pesan, ada kamar mandi lagi. Ini sungguh spot yang ciamik.
Sayang, saat itu mendung dan kami tidak dianugrahi pemandangan suset yang indah. Tak lama kemudian gelap datang. Gerimis turun sebentar. Saudara-saudara saya mager tidur di tenda. Lagipula tenda kami kecil dan badan mereka besar-besar. Jadinya mereka bertiga izin tidur di teras warung si Bapak dengan biaya Rp. 50,000. Jika kemping di pulau seribu rasanya gerah minta ampun, bermalam di sini baiknya bawa jaket atau sarung atau sleeping bag. Angin bertiup kencang sepanjang malam dan suhunya dingin.
Dari pantai ini kami tidak bisa melihat sunrise. Pagi begitu cepat terang. Jam 6 pagi kami sudah ngopi sambil menikmati deburan ombak di tengah cuaca yang gloomy. Karena saya nggak betah bengong terlalu lama, saya kembali menyusuri batuan karang. Duh, ke arah mana, ya namanya. Pokoknya menjauh dari spot yang ramai turis. Lalu saya menemukan spot yang dibicarakan dibanyak artikel, kolam di tengah bebatuan karang Pantai Wediombo. Kolam itu dangkal. Tapi cukup berbahaya karena tidak sepenuhnya terlindung dari arus pasang. Apalagi, saat itu cuaca termasuk sedang buruk.
Spot ini yang membuat saya ingin sekali ke Wediombo. Tapi saat melihat secara langsung, saya sama sekali tidak nafsu nyemplung. Di kolam sudah ada beberapa orang. Lalu ada botol aqua dan bungkus makanan ringan melayang-layang. Di salah satu sisinya ada ibu-ibu, mas-mas dan mba-mba nongkrong ngeliatin kolam.
Tidak jauh dari kolam, ada dinding karang yang di atasnya saya lihat ada beberapa orang sedang memancing. Saya putuskan untuk gangguin orang mancing dari pada kecipak kecipuk diliatin warga. Jalan menuju lokasi pemancingan ini berbahaya karena jadi jalan arus air. Ombak beberapa kali pecah setinggi hampir sepuluh meter di sana. Setelah sampai, waah nuansa semakin segar. Beberapa orang yang memancing katanya sudah puluhan tahun nongkrongin pantai-pantai di Gunung Kidul. Kalau beruntung, mereka akan melihat penyu, hiu, sampai ikan paus! Kalau memancing di kala malam, mereka kerap mendengar suara paus yang entah datangnya dari mana. Seru, ya.
Hari sudah semakin siang. Setelah menikmati ikan tuna bakar besar seharga Rp. 70,000 (puas dimakan ber-4), dan satu lobster sebesar jempol seharga Rp, 50,000, kami kembali pulang.
Meski ramai dan tidak banyak kegiatan yang bisa kami lakukan, Pantai Wediombo tetap membuat kami merasa segar. Pantai ini cocok buat liburan keluarga karena fasilitasnya sudah lengkap dan jalannya bagus sampai lokasi. Tapi kalau cari suasana sepi, mungkin baiknya ganti spot atau ke sini pas bukan libur panjang kali, ya.
Salam, Ariane

Tuesday, February 6, 2018

Rika di Ibukota

Jam 2 siang di kawasan segitiga emas ibu kota, di salah satu kotak dengan tinggi sebatas pundak, Rika menangis lagi. Rika cuma menangis sedikit, sambil menunduk. Malu dong, kelihatan orang.
Setelah setetes dua tetes, Rika duduk tegak kembali. Matanya yang masih sedikit basah menatap kosong ke logo apel di bingkai layar komputer. Kepalanya lunglai. Pikirannya beku.
“Sampai kapan aku di sini, begini,” batin Rika dalam hati, dengan diiringi nafas berat dan panjang.
Berkat nafas yang panjang dan berat itu, pikiran Rika perlahan mencair dari kebekuan. Rika tidak lantas jadi jenius karena otaknya mencair sampai encer. Rika hanya jadi sadar kalau ia belum mengerjakan banyak tugas-tugas yang diberikan oleh Pak dan Bu Bos. Bikin proposal konsinyasi, input barang yang terjual, pesan sample barang di suplier, kirim barang ke customer, dan pekerjaan lain yang tidak butuh kreatifitas apalagi daya pikir kritis.
Bukannya langsung buru-buru kerja, Rika malah terisak lagi sedikit, air matanya keluar lagi setetes.
“Mengapa aku tidak hidup di zaman berburu dan meramu saja, sih!” batin Rika lagi dalam hati.
“Ah! Itu yang membuat aku jadi bodoh seperti sekarang. Suka berpikir yang tidak-tidak. Tidak mungkin, tidak masuk akal, tidak ada gunanya!” lajut Rika, masih di dalam hati.
“Oke. Sekarang ayo mulai memikirkan hal-hal yang berguna, dan mulai bertindak! Tidak ada kata terlambat untuk menjadi apa yang kita mau. Kecuali jadi dokter, model, dan insinyur,” tekad Rika, tetap dalam hati, sambil mengepalkan jari-jari tangan jadi tinju dan mengatupkan mulut.
Rika lalu berdiri, melangkah ke ruangan Pak Bos, mengetuk pintu, dan membukanya tanpa menunggu diijinkan.
“Oh, Rika. Kaget saya,” kata Pak Bos.
I want to quit, Pak Bos,” serbu Rika seketika.
Pardon me?” jawab Pak Bos.
“Saya mau berhenti bekerja, Pak Bos,” balas Rika mantap.
“Kamu yakin? Bagaimana kamu bayar kos dan lain lain kalau kamu nggak kerja?” tanya Pak Bos.
“Yakin, Pak Bos. Saya akan pikirkan caranya. Saya yakin saya pasti bisa!” jawab Rika tanpa keraguan.
“Kamu tidak suka, ya, bekerja di sini? Saya bisa lihat itu. Ya, pekerjaan jadi admin memang membosankan. Mmm.. kalau boleh tau, apa, sih, pekerjaan impian kamu?” kata Pak Bos lagi.
“Wildlife photographer, Pak Bos,” begitu jawab Rika.
"Wuidiiih..," respon Pak Bos.
Jam 2 siang, dua minggu setelah Rika quit, di kamar kos yang ada fasilitas kulkasnya, Rika sedang termenung.
“Uang ku sebentar lagi habis. Aku harus kerja, kerja, kerja! Kerja apa saja dulu yang penting dapat uang. Cita-cita urusan belakangan. Sekarang yang penting bisa bayar kos dan makan,” batin Rika sambil menyesap seduhan kopi sachet.
Rika yang ber-title sarjana humaniora itu lalu mengambil handphone-nya, membuka aplikasi safari, mengetik jobstreet.com, mengetuk tombol apply ke lamaran admin sampai jurnalis politik di situs media online yang baru enam bulan berdiri.

Monday, February 6, 2017

Memperdagangkan Budaya di Tana Toraja, Indonesia

Penulis: Adams Kathleen M.
Tahun terbit: 1990
Alih bahasa: Ariane Meida
Tautan asli: https://www.culturalsurvival.org/publications/cultural-survival-quarterly/cultural-commoditization-tana-toraja-indonesia
[sumber gambar: twisata.com]
Pada tahun 1984, Direktur Jenderal Pariwisata Indonesia (saat itu dijabat Joop Ave) mendeklarasikan Kabupaten Tana Toraja sebagai primadona destinasi wisata di Sulawesi Selatan. Sekitar 15 tahun setelahnya, orang-orang Toraja yang tinggal di dataran tinggi Sulawesi berubah dari kekaburan antropologi menjadi selebriti wisata. Orang Toraja Sa’dan (salah satu sub suku Toraja yang mendiami Tana Toraja di dataran tinggi) jumlahnya sekitar 346.000 orang. Mereka terkenal karena ritual penguburan yang spektakuler, kompleks makam dan patung-patung yang berjajar di tebing, dan ukiran-ukiran khas pada arsitekturnya. Orang-orang Toraja yang setia melestarikan tradisi yang sangat membangkitkan minat para pelancong ini, didominasi oleh umat Kristiani yang merupakan minoritas di Indonesia yang didominasi Muslim. Gelombang turis yang terus meningkat ke Tana Toraja memberikan sejumlah masalah baru kepada orang-orang Toraja. Beberapa aspek mengenai masalah ini telah dibahas di tulisan lain (Adams 1988; Crystal 1977; Volkman 1982); sedangkan artikel ini akan fokus pada konflik yang menyeruak antara pemimpin lokal dengan pemerintah Indonesia yang terlibat dalam perencanaan pariwisata dan zonasi daerah pariwisata.
Sebagai upaya kita untuk memahami bentrokan tersebut secara menyeluruh dan menemukan solusi yang membangun, kita harus mempertimbangkan beberapa masalah yang berkaitan. Pertama, kita perlu menghargai konsepsi orang-orang Toraja mengenai kepemilikan dan otoritas dan memperhatikan bagaimana hal tersebut bertentangan dengan gagasan-gagasan yang diajukan oleh para pengembang pariwisata yang berasal dari luar suku. Kedua, kecenderungan para perancang pariwisata yang menganggap desa tempat hidup (di Tana Toraja) sebagai “objek” harus dihentikan; sebagian konflik di Toraja berhulu dari bagaimana sikap para konsultan (pariwisata) memperlakukan tempat-tempat yang menarik perhatian turis, seperti rumah Toraja dan kuburan, sebagai objek yang terpisah dari kehidupan orang-orang Toraja yang tradisional. Ketiga, kita harus mengakui bahwa pembangunan kerap tumpang tindih dengan struktur perseteruan antar etnik dan penduduk lokal yang telah ada sebelumnya.
Pariwisata di Tana Toraja
Setelah digembar-gemborkan sebagai “destinasi wisata kedua setelah Bali”, Kabupaten Tana Toraja semakin menarik perhatian turis lokal dan internasional. Pada tahun 1972 wisatawan asing yang mengunjungi dataran tinggi Toraja hanya berkisar 650 orang; namun semenjak tahun 1985 lebih dari 15.000 wisatawan asing dan hampir 80.000 wisatawan domestik mengunjungi daerah ini setiap tahun, dan pada tahun 1987 total 179.948 wisatawan telah jalan-jalan ke Tana Toraja. Dua puluh tahun yang lalu, rumah adat Toraja (tongkonan) dan kompleks makam di tebing batu hanya diketahui oleh orang-orang Indonesia, antropolog, dan misionaris. Akan tetapi saat ini, tidak ada catatan atau cerita wisata di Asia Tenggara tanpa setidaknya satu paragraf khusus tentang Toraja. Seperti artikel Sunset (lihat referensi) baru-baru ini yang menyatakan, “Disini [di Tana Toraja] kalian bisa merasakan sekilas bagaimana kesan para antropolog melihat kebudayaan masa lampau, gaya bangunan yang memukau, cara penguburan yang tidak biasa, dan mungkin kita mendapat kesempatan menyaksikan sendiri upacara pemakaman yang meriah” (Holdiman, 1985). Melalui pariwisata, gambaran ini lekas menjadi ikon kebudayaan eksotis dunia.
Menuliskan dampak pariwisata di utara Thailand, Cohen (1979) mencatat bahwa “pariwisata memberikan gambaran menarik mengenai suatu daerah dan diproyeksikan kondisinya tidak pernah berubah, sehingga memberikan harapan-harapan tertentu kepada para wisatawan… tetapi pada saat bersamaan, pengenalan pariwisata merubah lokalitas, menggerus tampilan fisik dan cara hidup hingga melampaui gambaran pariwisata yang tersebar.” Ketika saya tiba di Sulawesi pada tahun 1984, pejabat pemerintah mulai menemukan kenyataan dari hasil observasi Cohen. Serbuan wisata mulai merubah lanskap Toraja: pedagang lokal mulai mendirikan toko-toko souvenir di beranda rumah adat mereka, pedestrian baru dari semen berkelok-kelok sepanjang desa, gerbang-gerbang lengkung dan beratap seng bermunculan di sekitar tebing kompleks makam Toraja yang terkenal. Para wisatawan mulai mengeluh bahwa apa yang mereka lihat saat ini (desa tradisional dan makam tebing kapur) sudah terlalu komersial.
Rapat Zonasi Daerah Pariwisata
Karena gumaman ketidakpuasan para turis ini, muncul dorongan untuk membuat aturan formal mengenai tata wilayah wisata di daerah tersebut. Pada tahun 1985 pemerintah provinsi menetapkan 18 desa “tradisional” Toraja dan tebing makam sebagai “objek turis” resmi. Tim konsultan dari kantor pemerintah provinsi dikirim untuk mengevaluasi “objek turis” ini dan membuat rekomendasi lokasi-lokasi wisata. Ironisnya, tim tersebut tidak memiliki satu pun anggota yang berasal dari Toraja: para konsultan tersebut adalah orang-orang Bugis, Jawa, dan Mandar. Umat kristiani Toraja dalam sejarahnya memiliki hubungan yang ambivalen dengan orang Bugis, tetangga Muslim mereka yang mendominasi jabatan di pemerintahan provinsi. Perseteruan antara orang-orang Bugis dan Toraja terutama meruncing pada abad 18 dan 19, ketika mereka berkompetisi secara intens dalam sektor perdagangan kopi lokal dan jual beli budak (Bigalke, 1981). Selain itu, telah lama orang-orang Toraja salah paham dengan orang-orang Jawa, yang mendominasi jabatan di pemerintahan pusat. Sehingga, bagi orang-orang Toraja, konsultan pariwisata jelas-jelas orang luar yang turut campur urusan mereka. Menurut sebagian orang Toraja, perseteruan lama (antara Toraja dengan Bugis) kini muncul kembali dalam babak baru, dimana pada masa lampau orang-orang dari kerajaan tetangga datang untuk mencari kopi dataran tinggi dan budak, hari ini sumber daya Toraja yang mereka cari adalah turis-turis asing yang kaya raya.
Pada awal 1985 tim perencana menyelenggarakan pertemuan pertama untuk membahas zonasi (pariwisata di Tana Toraja) dengan pemerintah daerah dan elit-elit lokal Toraja. Setelah menjelaskan bagaimana zonasi akan memelihara kebudayaan Toraja dengan melindungi situs-situs wisata dan menghalau hal-hal yang artifisial, para konsultan yang berasal dari luar daerah tersebut meminta pendapat para elit lokal. Hal yang mengejutkan mereka, para bangsawan tersebut berlomba-lomba agar desa mereka masuk dalam daftar objek wisata; bahkan, banyak dari para bangsawan tersebut yang telah menyiapkan daftar alasan mengapa desa mereka yang layak mendapatkan perhatian. Rencananya, para konsultan menjabarkan, bahwa tujuan mereka adalah untuk membangun peraturan zonasi untuk objek wisata yang sudah ditetapkan, tidak untuk membangun yang baru. Para perwakilan Toraja terlihat tidak senang dengan statemen tersebut.
Para konsultan lanjut berkata bahwa mereka memang bermaksud mengajukan zonasi untuk area baru, yang mereka sebut sebagai “area bebas tradisi”. Para perencana memohon bahwa di tempat yang akan ditetapkan ini, orang-orang Toraja akan mempertunjukan tari yang biasa ditampilkan di dua ritual Toraja yang berbeda (yaitu ritual Rambu tuka atau asap naik yang melambangkan kehidupan dan Rambu solo atau asap turun yang melambangkan kematian) untuk wisatawan secara reguler. Beberapa pusat-pusat pertunjukan juga akan diminta mengijinkan wisatawan untuk menyaksikan tari dan khasanah kebudayaan Toraja, meskipun datangnya tidak bertepatan dengan musim-musim perayaan ritual.
Tradisi Toraja melarang percampuran ritual dan tari mengenai kehidupan dengan ritual dan tari kematian. Para konsultan menyadari hal ini, tetapi menyatakan bahwa dalam zonasi daerah “bebas tradisi” mereka dapat mengatasi permasalahan tradisi ini dan mengejar tujuan pembangunan nasional. Para konsultan lebih lanjut juga menyatakan bahwa warga bisa menarik biaya masuk ke dalam area pertunjukan “bebas tradisi” ini, dan penari dari seluruh daerah Tana Toraja bisa datang dan tampil di sini untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Ketimbang menenangkan orang-orang Toraja yang hadir pada pertemuan tersebut, pemberitahuan ini justru semakin membuat para petinggi Toraja frustasi. Salah seorang Toraja bergumam, “Mereka pikir mereka mengerti tradisi kita, tetapi mereka sama sekali tidak mengerti - mereka mengundang kami datang untuk meminta masukan, tetapi mereka tidak mendengarkan. Apa gunanya?”
Ekonomi Versus Identitas Lokal
Ketika saya berbicara dengan para konsultan selepas pertemuan tersebut, saya mendapati bahwa mereka menginterpretasikan para perwakilan Toraja sangat menginginkan desanya ditetapkan sebagai “objek pariwisata” semata-mata demi keuntungan ekonomi. Benar, banyak orang Toraja bicara bahwa tunjangan pengembangan pariwisata seharusnya diberikan kepada wilayah mereka ([misalnya tunjangan] aspal jalan, kamar mandi, dan turis-turis asing yang kaya); tetapi para perencana telah mengabaikan hal lain, hal yang lebih penting, yaitu simbol dari otoritas lokal.
[sumber gambar: google]
Secara tradisional, setiap kelompok bangsawan-bangsawan Toraja mengklaim mereka memiliki kedudukan tinggi karena mereka adalah keturunan langsung para leluhur, yang dipercaya berasal dari nirwana dan turun ke puncak-puncak gunung di daerah tersebut berabad-abad lalu. Para leluhur ini yang pertama kali membangun tongkonan dengan ukirannya yang rumit, yang saat ini dianggap sebagai simbol status sosial bagi kaum elit. Singkatnya, rumah adat Toraja berkaitan erat dengan identitas dan status seseorang dalam sosial. Oleh sebab itu, para bangsawan dalam pertemuan menganggap penting jika tempat keramat mereka (rumah leluhur dan puncak gunung) diakui sebagai bagian penting dari sejarah Toraja dan layak dimasukan dalam peta pariwisata; dimana pengakuan ini dapat menyokong klaim mereka atas kedudukannya yang tinggi.
Para perencana pariwisata yang berasal dari luar (Toraja) tidak sepenuhnya menghargai pentingnya hubungan antara rumah leluhur dengan identitas, nor had they completely elites (keterbatasan kemampuan alih bahasa). Mereka terkejut dengan kekesalan yang muncul ketika satu desa secara resmi ditentukan sebagai objek wisata sedangkan desa yang lain tidak. Ketika mengakui satu desa sebagai objek wisata, mereka tidak menyadari bahwa mereka tengah mengangkat pamor satu bangsawan dan merendahkan yang lainnya.
Beberapa hari kemudian seorang kawan Toraya membagi analisanya mengenai konflik ini dengan saya. Dia mulai dengan menyatakan bahwa cara orang Toraja memandang hakikat otoritas sangat berbeda dengan para konsultan yang (sebagian) orang-orang Jawa:
Di Jawa, Raja adalah tetesan darah dari Tuhan, ia ada di puncak otoritas. Jadi bagi orang-orang Jawa, pemerintah adalah yang utama, mereka merepresentasikan keinginan Tuhan. Peraturan yang kemudian muncul dari kuasa pemerintahan Jawa - mereka (rakyat) menjadi alat-alat pemerintahan, dan akhirnya posisi rakyat ada di bawah. Jadi, ketika orang-orang Jawa ingin melakukan sesuatu, dia akan bertanya kepada dirinya sendiri, “Bagaimana menurut pemerintah?”
Hal ini, menurutnya, berseberangan dengan konsepsi tradisional Toraja mengenai tatanan otoritas.
Bagi orang-orang Toraja, peraturan itu sendiri (aluk) yang secara langsung terkait dengan Tuhan. Ketika leluhur-leluhur yang berasal dari nirwana datang ke bumi berabad-abad lalu, Tuhan memberi mereka 7.777 aturan tradisional mengenai perilaku untuk diterapkan di bumi. Jadi, bagi kami, peraturan datang terlebih dahulu, baru pemerintah, dan akhirnya rakyat-rakyatnya. Dalam pandangan kami, pemerintah hanyalah instrumen dari aturan-aturan. Ketika orang Toraja hendak melakukan sesuatu, kami selalu tanya kepada diri kami sendiri, “Apakah hal tersebut sesuai dengan aluk - peraturan?” Para perencana yang berasal dari Jawa tidak merasa ada masalah ketika peraturan diubah demi kepentingan penguasa - seperti zonasi untuk membuat area bebas tradisi. Tetapi bagi kami orang Toraja, aturan selalu menjadi yang utama - kalian tidak dapat merubahnya, karena mereka datang dari Tuhan.
[sumber gambar: google]
Hal yang penting dari uraiannya adalah analisa yang didasarkan pada kontras antar etnik: dia menekankan perbedaan mendasar cara pandang antara orang Jawa dengan orang Toraja. Pada dasarnya, bagi dia, permasalahan dari pengembangan pariwisata berasal dari orientasi (antar pihak) yang saling bertentangan. Seperti yang ia dan orang Toraja lain simpulkan, orang-orang Toraja harus mengontrol rencana pariwisatanya sendiri, karena para konsultan yang merupakan orang Jawa (dan orang Bugis) tidak memahami mereka.
Pertemuan Kedua
Konflik yang terjadi antara orang dalam dan orang luar ini kembali muncul pada pertemuan zonasi kawasan pariwisata kedua yang diselenggarakan tiga bulan kemudian. Dalam kesempatan ini, para konsultan secara resmi menyampaikan salinan rencana zonasi yang telah mereka susun untuk 18 objek wisata resmi di Toraja kepada para bangsawan. Semenjak awal nuansa pertemuan terasa tegang. Para pemimpin Toraja dengan tidak nyaman beralih dari tempat duduknya ketika para konsultan yang merupakan orang-orang Bugis, Mandar, dan Jawa meluncurkan master plannya mengenai pengembangan pariwisata. Ketika para konsultan menyampaikan rencana mereka untuk melarang perubahan apapun pada tongkonan dan kuburan (agar tetap otentik bagi para turis), orang-orang Toraja mulai menyuarakan kejengkelan mereka. Seseorang berdiri dan mengatakan bahwa zonasi rumah adat dan kuburan tidak sesederhana kelihatannya. Suaranya gemetar karena emosi saat berkata: “Tempat yang ingin anda tata tidak hanya dimiliki oleh satu orang, tetapi dimiliki oleh kelompok-kelompok dari masing-masing tongkonan. Setiap kelompok mungkin memiliki seratus, atau seribu anggota - hanya meminta pemimpin tongkonan untuk menyetujui rencana zonasi anda itu tidak cukup. Setiap anggota tongkonan harus setuju dengan rencana tersebut.” Salah seorang konsultan merespon pernyataan ini, “Iya, karena masalah kepemilikan ini, kami tidak menetapkan batas-batas wilayah yang spesifik - kami hanya meminta anda sekalian untuk menyetujui area yang ditunjuk tidak dibangun atau diubah. Tidak dipotong bambunya, tidak dibangun struktur bangunan baru, tidak ada toko souvenirnya.”
Pemimpin Toraja lain yang kharismatik, yang mempelajari literatur antropologi, berdiri dan memulai pernyataanya dengan kutipan dari salah seorang ilmuan sosial favoritnya:
Antropolog Ruth Benedict menunjukan bagaimana kebudayaan terintegrasi - hal-hal bercampur dan berbaur. Zonasi adalah langkah pertama dari suatu perubahan. Pada tahun 1969 antropolog Eric Crystal menulis, “Mungkin tidak ada wilayah yang mencerminkan esensi dari Asia Tenggara seperti Tana Toraja.“ Jadi, kita harus merangkul nilai-nilai kita. Jika kalian merubah sesuatu dan memaksakan zonasi kepada kami, kalian akan menghancurkan kebudayaan Toraja… Kalian para konsultan berasal dari luar, kalian tidak mengerti cara berpikir kami orang-orang dalam (Toraja).
Kepala konsultan secara halus menyatakan tidak setuju dan berkata bahwa dia memahami kebudayaan Toraja karena berasal dari pulau yang sama. Saat ia berbicara, orang-orang Toraja menggelengkan kepalanya dengan tidak senang; bagi mereka ia merupakan orang luar. Proposal zonasinya memicu ketakutan orang-orang Toraja bahwa tanah dan tongkonan tempat dimana identitas mereka terkait dicerabut dari kendali mereka. Pertemuan ditunda dalam nuansa tegang tak lama kemudian. Ketika mereka berjalan ke luar, beberapa orang berkomentar, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka. Jika mereka orang-orang luar memaksakan rencana mereka kepada kami lagi, kami akan menutup desa kami bagi para turis.”
Desa Tempat Hidup, Bukan “Objek Wisata”
[sumber gambar: Catharina Damrell/Indonesiaful]
Kasus ini mengilustrasikan kebutuhan untuk mempertimbangkan baik relasi etnik dan daerah (local) ketika menganalisa konflik dalam upaya pembangunan. Van den Berghe (1980) mengamati bahwa pariwisata selalu muncul dalam konteks relasi hubungan antar etnis yang telah ada sebelumnya. Dalam kasus Toraja terlihat, perseteruan yang mewarnai nuansa pertemuan perencanaan zonasi menjadi dua kali lipat, yaitu antara tetangga etnis (Bugis, Jawa, dll) dan antara elit-elit Toraja. Jelasnya, kedua faktor ini - kompetisi antar etnis dan antar elit - harus dipertimbangkan dalam upaya memahami konflik dalam rencana pembangunan.
Pada akhirnya, kosakata pengembangan pariwisata Indonesia menimbulkan permasalahan. Istilah resmi seperti atraksi wisata, objek pariwisata, memperkuat kecenderungan pengembang-pengembang yang berasal dari luar untuk mendekati desa hidup sebagai objek mati atau komoditas pariwisata. Proposal zonasi dibuat berdasarkan asumsi bahwa situs-situs terpisah dari kehidupan sosial. Ketika melarang orang-orang untuk mengubah rumah tradisionalnya (dalam beberapa kasus bahkan dipertanyakan (oleh konsultan) apakah tongkongan harus menjadi hunian, sebab okupansi manusia bisa merusak “objek wisata” ini), konsultan yang berasal dari luar mengabaikan hubungan antara manusia dengan strukturnya. Sampai saat ini, orang-orang Toraja masih menyatakan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan. Tetapi, ketika kita mulai mendengar ada tongkonan yang dijual ke museum di Barat, kita tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mempertanyakan kiasan impor yang menyebut desa hidup sebagai “objek”.
Epilog
Pada musim panas tahun 1987, desa Toraja Kete Kesu, Londa, dan beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai “objek wisata” menutup pintunya bagi turis. Kawan dari desa ini mengabarkan bahwa mereka berbuat demikian karena muak dengan pemerintah yang mencoba mengambil alih tongkonan mereka. Ancaman yang digumamkan saat pertemuan perencanaan pariwisata akhirnya menjadi kenyataan. Wisatawan yang turun dan bus dan van di Kete Kesu diinformasikan bahwa desa ditutup, dan sebuah tanda yang meminta pengunjung untuk menjauh ditulis dengan tangan dan digantung di gerbang kuburan Londa (Girsang 1987). Akan tetapi situs pariwisata ini tidak ditutup untuk waktu yang lama. Seperti yang diprediksikan pemerintah, dalam beberapa hari penduduk desa menyadari sulitnya bertahan tanpa pemasukan dari penjualan souvenir dan kemudian membuka desanya kembali untuk wisatawan. Ironis bahwa pariwisata, sebuah daya yang mampu membawa simbol-simbol Toraja ke mata dunia, tidak berarti memberi orang-orang Toraja kekuatan untuk berdaya atas hidupnya sendiri.

Wednesday, May 4, 2016

Antara Anak Jawa dan Orang Jawa

Meskipun saya lahir dari ibu yang fasih berbahasa Jawa, apakah saya pantas disebut sebagai orang Jawa? Terlebih saya tidak bisa bicara pakai bahasa Jawa. Walau kalau ada yang bicara Jawa ngoko apalagi ngapak saya masih paham maksudnya. Juga, saya tidak pernah tinggal di tempat yang sekelilingnya orang Jawa semua, karena saya selalu tinggal di kota. Tetapi kalau ditanya kawan; Kamu orang mana? Maka spontan saya akan bilang saya orang Jawa.
Sampai lah saya pada suatu kesempatan penelitian kebudayaan di pedalaman Magelang. Saya datang ke suatu wilayah di kaki Gunung Merapi yang sejuk dan permai, dimana warganya masih banyak yang suka menari, menabuh gamelan, dan meletakan sajen di depan pohon beringin. Mereka semua tentu saja berbahasa Jawa. Dalam kajian Jawa, tempat yang saya datangi ini dikenal sebagai kantung-kantung pelaksana tradisi Jawa di luar keraton atau non keraton centris. Nah, di luar peran saya sebagai peneliti, kejawaan saya sebagai orang yang mengaku-ngaku Jawa tentu diuji di sini. Ternyata ke-Jawa-an saya di sana tidak diakui karena saya tidak bisa berkomunikasi dalam bahasa Jawa. Namun saya belum berkecil hati, karena biar tidak bisa bahasanya, saya harap perilaku saya mencerminkan keluhuran budi orang-orang Jawa. Memang seperti apa perilaku orang Jawa? Saya juga tidak sepenuhnya tahu. Tapi saya bisa ceritakan satu contoh kegiatan yang khas Jawa dan perilaku seperti apa yang saya tangkap dari sana, yaitu rewang.
"Rewang saat suran di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang"
Sederhananya, rewang adalah kegiatan membantu tetangga atau kerabat yang sedang punya hajatan. Biasanya perempuan bantu memasak, laki-laki membantu dekorasi, bersih-bersih, dan menyajikan makanan kepada tamu. Jika sanggup, selain sumbang tenaga, tetangga dan kerabat juga menyumbangkan kelebihan hasil tani atau bahan makanan kepada yang punya hajat. Hajatan yang dibantu biasanya pesta pernikahan atau sunatan. Karena di tempat penelitian saya ini masyarakatnya masih menggeluti kesenian dan melaksanakan perayaan-perayaan tradisional, warga juga rewang untuk hajatan-hajatan seperti itu. Dua kali saya ikut rewang, pertama pesta pernikahan tetangga induk semang saya, kedua perayaan suran sebuah padepokan seni.
Karena saya perempuan, tentu saya diminta bantu memasak. Dalam kedua hajatan yang saya rewang itu, saya lihat masakan yang dibuat bukan main banyaknya. Untuk pernikahan sekitar seribu porsi, untuk suran kira-kira dua ribu lima ratus porsi. Jika buat hajatan di kota, bayangkan berapa harga yang mesti dibayar jika pesan makanan dengan porsi sebanyak ini ke catering. Satu porsi makanan biasanya dipatok perusahaan catering seharga empat puluh ribu rupiah. Kalikan harga itu dengan dua ribu lima ratus porsi, maka jumlahnya jadi seratus juta rupiah. Sedangkan, perayaan suran di padepokan seni kemarin hanya menghabiskan tiga puluh juta untuk keseluruhan acara, mencakup dekorasi, sound sistem dan tetek-bengek keperluan acara lainnya. Padahal, saat acara saya makan daging kambing sampai puas, ngambilnya juga tidak berebutan karena takut kehabisan seperti saat kondangan di kota.
"Saat rewang, tugas perempuan biasanya mengolah bahan makanan di dapur. Sedangkan laki-laki membuat dekorasi dan menyajikan makanan kepada tamu, istilahnya 'laden'."
Intinya, rewang tentu kegiatan yang sangat menekan biaya pelaksanaan hajatan. Karena sebagian besar tenaga dan bahan makanan datang sendiri ke tempat hajat tanpa minta bayaran. Soal kemewahan dekorasi dan sajian makanannya tentu tidak bisa dibandingkan dengan orang kota. Orang di kota bisa membayar harga sepuluh juta hingga tak terhingga untuk dekorasi pesta pernikahannya yang terdiri dari pelaminan, tirai-tirai cantik, ukiran-ukiran es, dan rangkaian bunga-bunga. Juga empat puluh juta untuk seribu porsi makanan. Namun di desa, dekorasinya hanya dari daun kelapa dan kembang-kembang yang tumbuh di pekarangan. Makanannya pun khas pedesaan. Tetapi dengan latar belakang sawah luas, sejuknya udara pegunungan, dan alunan gending, nuansa perayaan di sana buat saya megah dan magis.
Lalu, mengapa para tetangga dan kerabat mau saja sumbang makanan dan capek-capek bantu yang punya hajat tanpa minta bayaran? Pertanyaan ini dijawab oleh pimpinan padepokan:
“Kita sebagai manusia itu wajib membantu, karena suatu saat kita pasti butuh bantuan orang lain.” Praktisnya begini, mereka mau bantu karena nanti saat mereka punya hajat, mereka juga butuh bantuan serupa yang mereka beri sekarang. Jika saat ini memberi beras maka nanti akan dibalas beras, gula diganti gula, dan jasa memasak dibalas dengan begitu juga. Kalau mereka sekarang tidak mau bantu, maka bisa-bisa tak ada bantuan mengalir ke tempat mereka ketika dibutuhkan. Istilahnya, bantuan yang diberikan ini bukan tanpa pamrih. Pamrih ini bisa dibayar kapan pun, bahkan bisa jadi diturunkan ke anak cucu. Jadi, biar dalam Islam pamrih dikelompokan sebagai perbuatan tercela, kegiatan bertukar jasa dengan pamrih di Jawa justru membangun hubungan antara dua orang, atau dua kelompok, dalam waktu yang panjang sampai pamrih terbayar. Tetapi siklus pamrih tidak akan terputus. Karena khawatir mendapat perlakuan yang serupa dimasa depan jika pelit, orang-orang terdorong saling membantu dan membalas bantuan.
"Dekorasi saat suran"
Jadi selain membangun hubungan jangka panjang, pamrih juga mendorong orang-orang Jawa untuk berbuat baik. Mungkin karena itu, orang Jawa di sana sangat terbuka, ringan tangan, ramah, dan tidak curigaan terhadap orang asing. Karena siapa saja, bisa jadi adalah penolong dimasa depan. Saya simpulkan, setidaknya dua perilaku orang Jawa yang saya lihat dari kegiatan rewang. Pertama mereka mau membantu kerabatnya (tetangga satu dusun atau antar dusun dan saudara), bukan dengan harapan uang tetapi bantuan serupa dimasa depan. Kedua, dengan ini orang Jawa punya satu sistem yang mendorong mereka untuk menjaga relasi, berbuat baik, terbuka, ramah, dan ringan tangan terhadap orang lain. Bagaimana dengan saya? Saya ini hidup di kota, dimana orang-orang tidak punya banyak waktu dan tenaga yang bisa diberikan secara cuma-cuma kepada orang lain. Sikap ini yang disyukuri banyak pengusaha, salah satunya pengusaha catering. Kalau orang-orang kota masih menjalankan rewang, perusahaan catering pasti bubar. Intinya, saya terbiasa bertransaksi dengan uang. Dalam kegiatan transaksi macam ini, tidak ada hubungan jangka panjang yang terjalin. Misalnya saya menikah, urusan saya dengan penyaji makanan selesai saat biaya catering saya lunasi. Jangankan dengan mereka, dengan tetangga saja sejujurnya saya tidak kenal. Saya juga tidak terbuka, ramah, dan ringan tangan kepada orang yang tidak dikenal. Selain karena tidak merasa perlu melakukan hal itu, orang kota memang cenderung curigaan dengan orang asing. Khawatir mereka pencopet atau penipu.
Jadi, saya tidak bisa bahasa Jawa, tidak terbiasa membantu orang lain (tetangga misalnya), dan curigaan terhadap orang asing, lalu apakah saya masih pantas disebut sebagai orang Jawa? Jika kebudayaan adalah bahasa dan perilaku, tentu jawabannya tidak! Saya rasa anak-anak orang Jawa lain yang tinggal di kota juga lebih mirip saya perilakuknya ketimbang orang-orang di Magelang. Tapi meski krisis identitas, ketika menikah banyak dari kami yang tidak malu-malu pakai riasan dan kostum tradisional Jawa seperti paes, kebaya dan kain lilit. Bahkan, dilangsungkan juga seremoni khas Jawa seperti sungkeman dan injak telur. Padahal, sehari-hari, kami sebagai anak tidak jaga perilaku dan ucapan kepada orang tua. Istri yang basuh kaki suaminya di hari pernikahan juga tidak merasa itu peringatan agar kelak jadi perempuan yang manut dan ngeladeni laki-lakinya. Mungkin riasan dan kostum tradisional dimaksudkan untuk menonjolkan kecantikan dan kegagahan pasangan pengantin yang wajah dan perawakannya sangat “daerah”. Mungkin seremoni adat dimaksudkan agar acara sesuai dengan dengan kostum dan riasannya saja. Atau, bisa jadi calon pengantin terpaksa pakai pakaian dan riasan adat karena diminta orang tua yang biayai pesta pernikahannya. Atau mungkin, calon pengantin terbawa saja karena sedang tren. Tapi yang jelas, di kota, identitas suku tidak mewujud pada perilaku individu dalam sosial, tetapi pada kostum, riasan, kuliner, dan atribut-atribut lain yang sekiranya trendy dan laku dijual.

Sunday, February 1, 2015

Pura Parahyangan Agung Jagatkarta

Sekarang saya suka jalan-jalan sendirian. Karena semakin kesini rasanya makin sukar jalan bareng kawan-kawan. Ada ajakan pun saya sering tidak nafsu. Tapi saya suka jalan-jalan dan berjanji sama diri saya sendiri kalau saya akan jalan-jalan sampai tua. Jadi, saya sesekali jalan-jalan sendirian. Saya ditemani sih, sama kamera saya, hehe. Alasan untuk foto-foto pemandangan buat saya sudah cukup jadi alasan dan jadi teman jalan. Tempo waktu saya pernah jalan-jalan sendiri ke Sunda Kelapa. Tapi saya nggak kepikiran cerita sesuatu dari sana. Kali ini saya ada kesempatan ke pura di daerah Ciapus dan ada cerita yang mau saya tulis.
Saya kira Pura Parahyangan Agung Jagatkarta yang terletak di Ciapus, kaki Gunung Salak, ini adalah situs purbakala. Ternyata, kata si penjaga pura, tempat ibadah itu baru dibangun pada 1995. Si penjaga pura ini berlogat Bali, begitu pula sang pendiri pura katanya adalah orang Bali yang mendapat telisik untuk membangun pura di wilayah ini. Kabarnya, lokasi berdirinya pura adalah tempat moksa Prabu Siliwangi dan prajurit-prajuritnya.
Pura Parahyangan Agung Jagatkarta pun dibangun. Batu pertamanya diletakan tahun 1991. Batu untuk membuat pura ini adalah batu hitam yang diboyong langsung dari Bali. Dipasang pula patung-patung batu yang diukir oleh tangan-tangan mahir. Dikelilingi pohon kamboja, saya jamin pengunjung sejenak akan lupa kalau lokasi pura ini di Ciapus. Rasa Bali tidak hanya ada di pura. Pohon-pohon di jalanan sekitar pura beberapa diberi sarung, persis di Bali kalau nggak denger orangt-orang di sana ngomong dengan logat sunda. Pura-pura megah dari zaman kerajaan Siliwangi memang telah lama lenyap tergempur Islam. Setelah terbangun pura Jagatkarta dinobatkan sebagai pura terbesar di Pulau Jawa. Kalau tidak salah sang penjaga pura bilang telisik untuk membangun pura itu datangnya dari Prabu Siliwangi sendiri. Kata Prabu, buatlah pura besar di Jawa Barat dan izinkan masuk siapapun yang ingin bertemu dengannya. Baik umat muslim, Kristen, dan penganut agama lain. Dari pada menganggap perkataan penjaga pura itu usaha Hinduisasi, saya memilih untuk mendengarnya sebagai ajakan damai.
Ajakan damai itu juga pernah saya rasakan di Bali. Sewaktu saya hendak mendaki gunung Agung bersama beberapa kerabat pecinta alam dari Bali. Pintu masuk jalur pendakian Gunung Agung adalah pura besar, namanya pura Pasar Agung kalau tidak salah. Mereka berdoa disana memohon keselamatan. Saya tanya apa saya boleh ikut berdoa. Mereka bilang boleh, berdoalah kepada tuhan yang diyakini hati kita katanya. Saya berdoa dihadapan situs peribadatan hindu yang dibangun dari batu-batu hitam, seperti batu di Pura Jagatkarta. Di bangunan pura teratas ada yang sedang berdoa sambil membunyikan lonceng kecil. Ditambah kabut, bayangan gunung, semerbak dupa dan bunga kenanga, eksotisme berdoa di sana tak terlupa hingga kini. Itu hal yang saya rasa istimewa dari umat Hindu, tempat peribadatannya banyak yang mendekat ke kaki gunung. Saya tidak tahu apa maksudnya, tetapi saya merasa tempat-tempat ibadat itu menawarkan nuansa damai bagi pengunjungnya. Terlebih, tempat ibadat ini terbuka bagi semua umat. Dengan lokasi yang sejuk, rancang bangun yang eksotis dan megah, tempat-tempat ibadat umat Hindu tak jarang jadi objek wisata. Pun juga Pura Parahyangan Agung Jagatkarta ini. Tapi sayangnya, yang datang ke pura bukan untuk beribadah sepertinya jarang yang mau paham kalau yang mereka datangi adalah tempat ibadah. Penjaga pura bilang kalau pagar pembatas untuk pengunjung dibuat karena mereka merasa terganggu dengan turis yang seenaknya mengambil gambar umat-umat hindu yang sedang beribadah. Saya melihat-lihat pura tidak sampai 20 menit. Karena tempatnya tidak nyaman untuk pengunjung yang dibatasi sampai halaman samping saja. Kalau mau ibadah baru boleh masuk ke dalam. Bagi yang tidak beragama Hindu beribadahnya akan didampingi penjaga. Saya penasaran apa yang ada di dalamnya. Jadi, bukan saya mau masuk agama Hindu, tapi suatu saat saya berniat ke pura ini lagi untuk ibadah.

Saturday, September 20, 2014

Semeru

Semeru adalah salah satu gunung tempat diadakannya upacara kemerdekaan 17 agustus. Pada saat itu kuota pendakian semeru diperbanyak dari 500 menjadi 3000 pengunjung.
Jumlah pendaki yang sampai 3000 tidak membuat jalur pendakian sesak. Hanya, karena camping ground di semeru lapang, agak sulit mencari tempat buang hajat. Tempat yang tersedia sudah ramai oleh buangan hajat orang lain.
Tidak jelas apakah kuota sebanyak itu sengaja dibuka khusus untuk pendakian di sekitar tanggal 17 Agustus atau tidak. Tetapi mengurus permohonan surat izin masuk taman nasionalnya (SIMAKSI) ternyata mudah. Tak perlu booking online dan mengurus surat sehat sebelum berangkat seperti anjuran taman nasional. Sesampainya di Pasar Tumpang akan ada petugas yang memberikan formulir dan menjual surat sehat. Pengunjung tinggal isi formulir, lengkapi surat sehat, dan bayar tiket masuk kawasan taman nasional di Ranupani.
Upacara 17 agustus di Ranukumbolo dimulai jam 9 pagi. Sebagian petugas upacaranya cabutan dari pengunjung. Kerumunan pendaki yang pagi-pagi mengelilingi tiang bendera di Ranukumbolo adalah pemandangan yang menarik untuk dipotret.
Pendakian ke puncak Mahameru diperbolehkan pada tanggal 18 dini hari, atau 17 tengah malam. Cukup tidur, makan, dan bekal air akan memberikan tenaga menuju puncak. Saya dan kawan-kawan kelelahan dan tidak sampai puncak. Beberapa tahun mendatang mungkin saya kesana lagi.
Beberapa foto yang sempat diposting, sebagian foto lagi menyusul.
Berkendara Jeep dari Pasar Tumpang sampai Ranu Pani. Biayanya 35.000 per orang, belum termasuk biaya wajib naik angkot dari Pasar Tumpang sampai rest area terdekat, 6000 rupiah. Beberapa destinasi pariwisata yang saya kunjungi, seperti Papandayan, punya pembagian alur jasa transportasi seperti ini. Wajib naik angkot sampai tempat ini, lalu cuma bisa naik pick up sampai tempat anu.
Jeep yang saya tumpangi beberapa kali mesinnya mengeluarkan asap sampai harus berhenti. Kata supirnya karna keberatan muatan. Jeep itu membawa 17 penumpang termasuk ranselnya yang berat-berat. Padahal biasanya penumpang dibatasi sampai 15 orang. Sebelum naik jeep, ada seorang pendaki yang protes kepada pihak pengelola jeep di Pasar Tumpang karena muatannya lebih dari 15 orang tapi ongkos tidak dikurangi. Tetapi dia tidak digubris dan pendaki lain manut-manut saja.
Loket perizinan di Ranu Pani. Beberapa kali saya naik gunung, cuma Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) yang mengurus perizinannya rada sulit. Karena untuk masuk TNGP harus booking seminggu sebelumnya. Jika kuota habis pihak TNGP tegas melarang pendaki naik. Kedua adalah gunung Agung. Jika tidak dipandu kerabat yang warga lokal, naik gunung Agung wajib pakai porter. Waktu saya mendaki ke sana, warga lokal yang memandu juga mesti sembahyang di beberapa pura dulu sebelum mengantar naik.
Sudah ada pedagang di sepanjang jalur pendakian Semeru. Rata-rata yang dijual adalah gorengan dan semangka. Baik gorengan dan semangga setiap potongnya dihargai 2.500. Gorengannya ada yang masih hangat, lho. Semangkanya juga segar.
Ingin rasanya seperti mbak ini, tetap stylish saat mendaki.
Ranu Kumbolo, salah satu camping ground resmi Semeru. Lapang dan ramai.
Anak-anak juga kuat naik gunung.
Euforia pendaki saat sunrise 17 Agustus di Ranu Kumbolo.
Tak semua pendaki harus ikut upacara. Beberapa hanya memotret dan merekam jalannya upacara, beberapa lainnya hormat kepada bendera sambil motret.

Thursday, July 25, 2013

Derita si Hitam

Di sebuah hutan, hiduplah seekor burung berbulu hitam, berupa buruk, dan terlihat menakutkan, gagak namanya. Sepanjang hari kerjanya hanya beterbangan, mencari makan, lalu bertengger sambil merenung di dahan pohon. Tanpa kawan, tanpa lawan. Bukan maunya hidup dalam kesepian. Ia sendirian karena tak ada binatang hutan lain yang mau menemani. Mereka bilang, sang gagak terlalu jelek dipandang. Semua binatang hutan gengsi berkawan dengan yang jelek-jelek.
Suatu hari, Gagak mendengar sang raja hutan akan mengadakan kontes kecantikan. Sang pemenang akan diberikan jabatan penting, yaitu Public Relation (PR). Sebuah jabatan yang menuntut sang pejabat berhubungan dengan banyak pihak, baik dari dalam maupun luar hutan, dan itu berarti kesempatan untuk mendapatkan kawan maupun lawan sebanyak mungkin. Gagak menginginkan jabatan itu, Gagak jengah kesepian. Tetapi, mengapa sang Raja Hutan mencari pejabat PR dengan menyelenggarakan kontes kecantikan? Gagak bertanya-tanya, mencari-cari jawaban, lalu merangkai suatu rencana.
Gagas lekas mendatangi pinggir sungai, menjalankan rencananya. Dipungutnya rerontokan bulu-bulu unggas yang warnanya bagus-bagus. Merah, putih, ungu, orange, hijau toska, biru diamon, dan kuning yang cemerlang laksana mentari. “Biar Tuhan tak mewarnai buluku selain warna hitam yang jelek dan menakutkan ini, aku toh bisa mengelabui kalian sang pemilik bulu-bulu bagus.”
Gagak lalu mulai menempelkan bulu-bulu warna-warni nan cemerlang dan indah itu ke tubuhnya dengan getah tumbuhan. “Bulu merah di bagian sayap agar aku terlihat berwibawa saat terbang, bulu orange di bagian perut sampai dada agar aku terlihat bahagia dan banyak teman, bulu-bulu berwarna lain kutempelkan acak dibagian punggung agar aku terlihat misterius sekaligus mempesona, dan sentuhan terakhir, bulu kuning cemerlang kupasang sebagai jambul agar aku terlihat menyilaukan dan memiliki bakat terpendam!” Gagak komat-kamit sendirian.
Maka, dengan percaya diri, Gagak mendatangi kontes kecantikan. Dan sesuai rencana, semua binatang terpesona padanya, terutama sang raja hutan.
“Wahai yang paling cantik, siapa gerangan dikau? Aku belum pernah melihatmu menjalani hidupmu yang cantik di hutan ini,” ujar si Raja Hutan, suaranya rendah dan pelan.
“Aku memang sengaja menghindari tatapan banyak binatang, Raja, agar tak ada yang merasa iri dengan kecantikanku. Demi kedamaian hutan kita, Raja.” kata si Gagak.
“Lalu mengapa kau menghendaki jabatan PR?” sang raja hutan bingung.
“Karena kini aku ingin memanfaatkan kecantikanku untuk kebaikan sosial, tapi dengan cara yang lebih aktif. Tentu tak ada yang tak menyukai yang cantik. Kedatanganku akan mencuri adegan, memapah setiap pandangan agar awas dengan gerak-gerikku, lalu ketika aku bicara, aku yang cantik ini akan lebih ingin mereka dengar agar mereka punya alasan untuk lebih lekat memandangiku. Maka, lewat kecantikanku, paduka bisa mengiklankan produk hutan kita, menawarkan kejasama bisnis, sampai mengajukan perdamaian antar negara hutan.” jawab Gagak panjang lebar.
“Bagus-bagus. Memang itu rencanaku. Mari kita mulai kontesnya!” kata Raja.
Gggggooooongggggg….
Gong dipukul keras, tanda kontes dimulai. Peserta kontes diminta lenggak lenggok, mesam-mesem, menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan suasana yang sengaja dibuat tegang, hingga sampailah pada sesi yang tidak Gagak duga akan diselenggarakan pada kontes ini, berenang di sungai!
“Nah, lhoo.” batin Gagak.
Gagak nekat berenang, sambil berdoa keras-keras dalam hati agar getah tumbuhan tetap melengketkan bulu-bulu palsunya. Lalu, bulu-bulu indah terlihat mengambang-ngambang di atas air, di lajur berenang sang Gagak. Semua binatang mengerutkan dahi, bertanya-tanya. Gagak terus saja berenang, sambil memejamkan mata erat-erat , menangis. Hatinya pilu, patah-patah. Seperti batang bambu yang terinjak kawanan gajah. Sesampainya di tepi sungai seberang, gagak terengah-engah, menundukan kepala ke dadanya yang semuanya berwarna hitam, lalu terbang dengan gerakan sayap tak terkendali karna marah. “Aku hanya ingin punya kawan Tuhan!!!” jerit Gagak dengan paraunya.
Lelah beterbangan, gagak bertengger pada sebuah ranting yang kokoh dan tinggi, begitu tinggi hingga seluruh batas-batas negara hutannya kelihatan. Marahnya telah berganti tekad sekarang. Tekad untuk menuntut sang raja atas ketidakadilannya. Tidak adil jika seleksi jabatan semulia PR hanya memperhitungkan kriteria fisik! Fisik itu pemberian Tuhan, yang tak seorang makhluk pun memiliki kuasa atasnya. Harusnya seleksi itu lebih mengutamakan skill yang diolah dengan semangat makhluk Tuhan. Skill yang diperoleh lewat usaha! Besok, Gagak mantap menghadap Raja Hutan, meminta agar kontes kecantikan itu dibatalkan dan diganti dengan kontes menyanyi. Pun, suara Gagak kan parau-parau gimanaaa gitu, bisa jadi X-faktor yang membuatnya unggul dibanding saingannya yang lain. Gagak lalu terbang dengan hati yang mantap dan tenang menuju tempat peristirahatannya, mengumpulkan energi buat aksinya besok pagi.