Saturday, June 23, 2018

Cara Asik Menikmati Pantai Wediombo Gunung Kidul Kala Libur Lebaran

Mumpung mudik ke Kebumen, Jawa Tengah, saya dan adik-adik rencana trip ke salah satu pantai di Yogyakarta. Setelah mencari info di internet, saya mengajak mereka kemping di Pantai Wediombo, Gunung Kidul.
Sudah lama saya mendengar eksotisnya pantai di Gunung Kidul. Dengernya sekilas-sekilas, sih. Katanya ombaknya besar karena langsung menghadap ke Samudra Hindia. Selain itu, pantai-pantai di Gunung Kidul berada di balik perbukitan karang. Jadi, meski menawarkan suasana santai kayak di pantai, Gunung Kidul juga menyuguhkan nuansa sejuk segar khas pegunungan. Belum lagi kalau baca artikel di blog-blog atau situs-situs pariwisata, pantai-pantai di Gunung Kidul disebut-sebut sebagai "hidden paradise". Dalam beberapa artikel, Pantai Wediombo jadi satu dari "Sepuluh Pantai Terindah di Gunung Kidul yang Wajib Kamu Kunjungi". Makin nggak sabar pengen cepat sampai di sana.
Singkat kata kami berangkat menuju lokasi menggunakan mobil Grand Max yang diisi cuma 4 orang, legaa rasanya. Dari kota Yogyakarta, kami menuju ring road selatan. Dari sana, kami dipandu google maps menuju Wediombo. Garing ya, saya nggak kasih tau info rute. Hehe.
Jalan menuju pantai lumayan naik turun dan berkelok-kelok. Sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan khas pedesaan. Hijau dan sepi. Bedanya kita dominan melihat perbukitan karang yang tidak bisa dijadikan sawah.
Sebelum sampai lokasi saya membayangkan pantai yang sepi, dengan pasir putih nan halus menghampar luas. Secara pantai-pantai di Gunung Kidul akses transportasinya terbatas dan butuh waktu tempuh kira-kira 2,5 jam dari pusat Kota Yogyakarta. Tapi ternyata eh ternyata, kawasan pantai Gunung Kidul eh buset ramai banget, Shay.
Saya tidak tau kalau hari itu begitu banyak orang yang ikut datang ke Gunung Kidul. Menurut portal berita online, hari saya berangkat, yaitu hari ke-3 lebaran termasuk salah satu hari dimana turis sedang ramai-ramainya menyerbu Gunung Kidul. Hari itu tercatat 70.000-an orang yang niatnya sama dengan kami. Pemerintah daerah kabarnya sampai amaze sendiri. Tahun ini lonjakan turis gila-gilaan.
Kami turut senang dengan pesatnya peningkatan kunjungan pariwisata ke Gunung Kidul. Tapi jujur, keramaian ini diluar ekspektasi kami. Tapi sudah jauh-jauh datang ke sini, masa mau pulang lagi. Oya, biar pun angka pengunjung sangat fantastis, sepanjang jalan kami sama sekali tidak merasakan kemacetan. Mungkin kami datang di jam yang lowong. Kami baru berangkat jam setengah dua siang dari Malioboro dan sampai sana jam empat sore. Saat kami sampai, sebagian besar turis sedang bersiap-siap pulang.
Segera kami sewa tenda. Biayanya Rp. 50,000 per tenda. Tempat penyewaannya bisa ditanyakan ke tukang parkir. Langsung juga kami makan Indomie rebus dan turun ke pantai. Sebelumnya saya tanya ke tukang parkir dimana letak pantai Wediombo, masa dia mengarahkan saya ke lokasi pantai yang berbeda, lho. Pantai di sini lokasinya memang berdekat-dekatan. Saya tidak yakin dengan petunjuk dari tukang parkir karena perasaan saya lihat penunjuk jalan ke arah pantai Wediombo tidak ke arah sana. Setelah menikmati mie rebus, saya tanya lagi ke penjual mie di mana letak pantai yang mau saya kunjungi itu. Alhamdulillah dia kasih petunjuk ke jalan yang benar. Jadi, kalau ke sini dan butuh info tentang sesuatu, baiknya double check ya, pemirsa.
Untuk sampai ke pantai kami harus turun melewati tangga. Di kanan kirinya, sudah penuh resort, rumah makan, kamar mandi, dan pedagang kaki lima yang jual gelang dan sebagainya. Sampai di pantai, kami disambut ribuan turis. Dari bayi hingga manula. Sepanjang pantai berjejer payung-payung dan tikar yang disewakan "Rp. 30,000 sampai sore". Mau diriin tenda dimana, nih. Batin saya dalam hati. Setelah berjalan terus ke arah kiri dari pintu masuk, kami melihat beberapa tenda berdiri. Lokasi itu memang agak sepi, tapi dihadapannya bukan pasir lagi. Landai sih, tapi itu semacam lantai karang.
Setelah tenda berdiri, kami coba main-main di pantai berlantai karang itu. Ombak sudah pecah kira-kira dua puluh meter di depannya. Kami berjalan menyusuri karang berlumut dan menemukan biota laut yang aneh-aneh. Ada bintang laut kecil, bulu babi, sampai entah spesies apa, bentuknya mirip lipan tapi panjangnya sampai 30 cm. Hiiyy...
Karena garing, saya coba terus menyusuri batuan karang ke arah selatan, menjauh dari keramaian turis. Dan voilaaa.. saya menemukan sebuah warung makan berbentuk rumah panggung di atas bukit. Saya hampiri dan melihat situasi. Setelah menyapa pemiliknya, saya izin mendirikan tenda di depan warungnya. Jadilah kami gotong tenda kami ke depan rumah makan di Bapak. Ah.. keramaian turis terlihat di kejauhan, ombak berdebur begitu dekat dengan kami namun kami terlindung dinding karang, kalau mau minum kopi atau makan tinggal pesan, ada kamar mandi lagi. Ini sungguh spot yang ciamik.
Sayang, saat itu mendung dan kami tidak dianugrahi pemandangan suset yang indah. Tak lama kemudian gelap datang. Gerimis turun sebentar. Saudara-saudara saya mager tidur di tenda. Lagipula tenda kami kecil dan badan mereka besar-besar. Jadinya mereka bertiga izin tidur di teras warung si Bapak dengan biaya Rp. 50,000. Jika kemping di pulau seribu rasanya gerah minta ampun, bermalam di sini baiknya bawa jaket atau sarung atau sleeping bag. Angin bertiup kencang sepanjang malam dan suhunya dingin.
Dari pantai ini kami tidak bisa melihat sunrise. Pagi begitu cepat terang. Jam 6 pagi kami sudah ngopi sambil menikmati deburan ombak di tengah cuaca yang gloomy. Karena saya nggak betah bengong terlalu lama, saya kembali menyusuri batuan karang. Duh, ke arah mana, ya namanya. Pokoknya menjauh dari spot yang ramai turis. Lalu saya menemukan spot yang dibicarakan dibanyak artikel, kolam di tengah bebatuan karang Pantai Wediombo. Kolam itu dangkal. Tapi cukup berbahaya karena tidak sepenuhnya terlindung dari arus pasang. Apalagi, saat itu cuaca termasuk sedang buruk.
Spot ini yang membuat saya ingin sekali ke Wediombo. Tapi saat melihat secara langsung, saya sama sekali tidak nafsu nyemplung. Di kolam sudah ada beberapa orang. Lalu ada botol aqua dan bungkus makanan ringan melayang-layang. Di salah satu sisinya ada ibu-ibu, mas-mas dan mba-mba nongkrong ngeliatin kolam.
Tidak jauh dari kolam, ada dinding karang yang di atasnya saya lihat ada beberapa orang sedang memancing. Saya putuskan untuk gangguin orang mancing dari pada kecipak kecipuk diliatin warga. Jalan menuju lokasi pemancingan ini berbahaya karena jadi jalan arus air. Ombak beberapa kali pecah setinggi hampir sepuluh meter di sana. Setelah sampai, waah nuansa semakin segar. Beberapa orang yang memancing katanya sudah puluhan tahun nongkrongin pantai-pantai di Gunung Kidul. Kalau beruntung, mereka akan melihat penyu, hiu, sampai ikan paus! Kalau memancing di kala malam, mereka kerap mendengar suara paus yang entah datangnya dari mana. Seru, ya.
Hari sudah semakin siang. Setelah menikmati ikan tuna bakar besar seharga Rp. 70,000 (puas dimakan ber-4), dan satu lobster sebesar jempol seharga Rp, 50,000, kami kembali pulang.
Meski ramai dan tidak banyak kegiatan yang bisa kami lakukan, Pantai Wediombo tetap membuat kami merasa segar. Pantai ini cocok buat liburan keluarga karena fasilitasnya sudah lengkap dan jalannya bagus sampai lokasi. Tapi kalau cari suasana sepi, mungkin baiknya ganti spot atau ke sini pas bukan libur panjang kali, ya.
Salam, Ariane

1 comment:

  1. Mba Aneeeee, ajak2 dums. Guru nyantai dan banyak liburnya nih

    ReplyDelete