Tuesday, February 6, 2018

Rika di Ibukota

Jam 2 siang di kawasan segitiga emas ibu kota, di salah satu kotak dengan tinggi sebatas pundak, Rika menangis lagi. Rika cuma menangis sedikit, sambil menunduk. Malu dong, kelihatan orang.
Setelah setetes dua tetes, Rika duduk tegak kembali. Matanya yang masih sedikit basah menatap kosong ke logo apel di bingkai layar komputer. Kepalanya lunglai. Pikirannya beku.
“Sampai kapan aku di sini, begini,” batin Rika dalam hati, dengan diiringi nafas berat dan panjang.
Berkat nafas yang panjang dan berat itu, pikiran Rika perlahan mencair dari kebekuan. Rika tidak lantas jadi jenius karena otaknya mencair sampai encer. Rika hanya jadi sadar kalau ia belum mengerjakan banyak tugas-tugas yang diberikan oleh Pak dan Bu Bos. Bikin proposal konsinyasi, input barang yang terjual, pesan sample barang di suplier, kirim barang ke customer, dan pekerjaan lain yang tidak butuh kreatifitas apalagi daya pikir kritis.
Bukannya langsung buru-buru kerja, Rika malah terisak lagi sedikit, air matanya keluar lagi setetes.
“Mengapa aku tidak hidup di zaman berburu dan meramu saja, sih!” batin Rika lagi dalam hati.
“Ah! Itu yang membuat aku jadi bodoh seperti sekarang. Suka berpikir yang tidak-tidak. Tidak mungkin, tidak masuk akal, tidak ada gunanya!” lajut Rika, masih di dalam hati.
“Oke. Sekarang ayo mulai memikirkan hal-hal yang berguna, dan mulai bertindak! Tidak ada kata terlambat untuk menjadi apa yang kita mau. Kecuali jadi dokter, model, dan insinyur,” tekad Rika, tetap dalam hati, sambil mengepalkan jari-jari tangan jadi tinju dan mengatupkan mulut.
Rika lalu berdiri, melangkah ke ruangan Pak Bos, mengetuk pintu, dan membukanya tanpa menunggu diijinkan.
“Oh, Rika. Kaget saya,” kata Pak Bos.
I want to quit, Pak Bos,” serbu Rika seketika.
Pardon me?” jawab Pak Bos.
“Saya mau berhenti bekerja, Pak Bos,” balas Rika mantap.
“Kamu yakin? Bagaimana kamu bayar kos dan lain lain kalau kamu nggak kerja?” tanya Pak Bos.
“Yakin, Pak Bos. Saya akan pikirkan caranya. Saya yakin saya pasti bisa!” jawab Rika tanpa keraguan.
“Kamu tidak suka, ya, bekerja di sini? Saya bisa lihat itu. Ya, pekerjaan jadi admin memang membosankan. Mmm.. kalau boleh tau, apa, sih, pekerjaan impian kamu?” kata Pak Bos lagi.
“Wildlife photographer, Pak Bos,” begitu jawab Rika.
"Wuidiiih..," respon Pak Bos.
Jam 2 siang, dua minggu setelah Rika quit, di kamar kos yang ada fasilitas kulkasnya, Rika sedang termenung.
“Uang ku sebentar lagi habis. Aku harus kerja, kerja, kerja! Kerja apa saja dulu yang penting dapat uang. Cita-cita urusan belakangan. Sekarang yang penting bisa bayar kos dan makan,” batin Rika sambil menyesap seduhan kopi sachet.
Rika yang ber-title sarjana humaniora itu lalu mengambil handphone-nya, membuka aplikasi safari, mengetik jobstreet.com, mengetuk tombol apply ke lamaran admin sampai jurnalis politik di situs media online yang baru enam bulan berdiri.

No comments:

Post a Comment