Thursday, July 25, 2013

Derita si Hitam

Di sebuah hutan, hiduplah seekor burung berbulu hitam, berupa buruk, dan terlihat menakutkan, gagak namanya. Sepanjang hari kerjanya hanya beterbangan, mencari makan, lalu bertengger sambil merenung di dahan pohon. Tanpa kawan, tanpa lawan. Bukan maunya hidup dalam kesepian. Ia sendirian karena tak ada binatang hutan lain yang mau menemani. Mereka bilang, sang gagak terlalu jelek dipandang. Semua binatang hutan gengsi berkawan dengan yang jelek-jelek.
Suatu hari, Gagak mendengar sang raja hutan akan mengadakan kontes kecantikan. Sang pemenang akan diberikan jabatan penting, yaitu Public Relation (PR). Sebuah jabatan yang menuntut sang pejabat berhubungan dengan banyak pihak, baik dari dalam maupun luar hutan, dan itu berarti kesempatan untuk mendapatkan kawan maupun lawan sebanyak mungkin. Gagak menginginkan jabatan itu, Gagak jengah kesepian. Tetapi, mengapa sang Raja Hutan mencari pejabat PR dengan menyelenggarakan kontes kecantikan? Gagak bertanya-tanya, mencari-cari jawaban, lalu merangkai suatu rencana.
Gagas lekas mendatangi pinggir sungai, menjalankan rencananya. Dipungutnya rerontokan bulu-bulu unggas yang warnanya bagus-bagus. Merah, putih, ungu, orange, hijau toska, biru diamon, dan kuning yang cemerlang laksana mentari. “Biar Tuhan tak mewarnai buluku selain warna hitam yang jelek dan menakutkan ini, aku toh bisa mengelabui kalian sang pemilik bulu-bulu bagus.”
Gagak lalu mulai menempelkan bulu-bulu warna-warni nan cemerlang dan indah itu ke tubuhnya dengan getah tumbuhan. “Bulu merah di bagian sayap agar aku terlihat berwibawa saat terbang, bulu orange di bagian perut sampai dada agar aku terlihat bahagia dan banyak teman, bulu-bulu berwarna lain kutempelkan acak dibagian punggung agar aku terlihat misterius sekaligus mempesona, dan sentuhan terakhir, bulu kuning cemerlang kupasang sebagai jambul agar aku terlihat menyilaukan dan memiliki bakat terpendam!” Gagak komat-kamit sendirian.
Maka, dengan percaya diri, Gagak mendatangi kontes kecantikan. Dan sesuai rencana, semua binatang terpesona padanya, terutama sang raja hutan.
“Wahai yang paling cantik, siapa gerangan dikau? Aku belum pernah melihatmu menjalani hidupmu yang cantik di hutan ini,” ujar si Raja Hutan, suaranya rendah dan pelan.
“Aku memang sengaja menghindari tatapan banyak binatang, Raja, agar tak ada yang merasa iri dengan kecantikanku. Demi kedamaian hutan kita, Raja.” kata si Gagak.
“Lalu mengapa kau menghendaki jabatan PR?” sang raja hutan bingung.
“Karena kini aku ingin memanfaatkan kecantikanku untuk kebaikan sosial, tapi dengan cara yang lebih aktif. Tentu tak ada yang tak menyukai yang cantik. Kedatanganku akan mencuri adegan, memapah setiap pandangan agar awas dengan gerak-gerikku, lalu ketika aku bicara, aku yang cantik ini akan lebih ingin mereka dengar agar mereka punya alasan untuk lebih lekat memandangiku. Maka, lewat kecantikanku, paduka bisa mengiklankan produk hutan kita, menawarkan kejasama bisnis, sampai mengajukan perdamaian antar negara hutan.” jawab Gagak panjang lebar.
“Bagus-bagus. Memang itu rencanaku. Mari kita mulai kontesnya!” kata Raja.
Gggggooooongggggg….
Gong dipukul keras, tanda kontes dimulai. Peserta kontes diminta lenggak lenggok, mesam-mesem, menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan suasana yang sengaja dibuat tegang, hingga sampailah pada sesi yang tidak Gagak duga akan diselenggarakan pada kontes ini, berenang di sungai!
“Nah, lhoo.” batin Gagak.
Gagak nekat berenang, sambil berdoa keras-keras dalam hati agar getah tumbuhan tetap melengketkan bulu-bulu palsunya. Lalu, bulu-bulu indah terlihat mengambang-ngambang di atas air, di lajur berenang sang Gagak. Semua binatang mengerutkan dahi, bertanya-tanya. Gagak terus saja berenang, sambil memejamkan mata erat-erat , menangis. Hatinya pilu, patah-patah. Seperti batang bambu yang terinjak kawanan gajah. Sesampainya di tepi sungai seberang, gagak terengah-engah, menundukan kepala ke dadanya yang semuanya berwarna hitam, lalu terbang dengan gerakan sayap tak terkendali karna marah. “Aku hanya ingin punya kawan Tuhan!!!” jerit Gagak dengan paraunya.
Lelah beterbangan, gagak bertengger pada sebuah ranting yang kokoh dan tinggi, begitu tinggi hingga seluruh batas-batas negara hutannya kelihatan. Marahnya telah berganti tekad sekarang. Tekad untuk menuntut sang raja atas ketidakadilannya. Tidak adil jika seleksi jabatan semulia PR hanya memperhitungkan kriteria fisik! Fisik itu pemberian Tuhan, yang tak seorang makhluk pun memiliki kuasa atasnya. Harusnya seleksi itu lebih mengutamakan skill yang diolah dengan semangat makhluk Tuhan. Skill yang diperoleh lewat usaha! Besok, Gagak mantap menghadap Raja Hutan, meminta agar kontes kecantikan itu dibatalkan dan diganti dengan kontes menyanyi. Pun, suara Gagak kan parau-parau gimanaaa gitu, bisa jadi X-faktor yang membuatnya unggul dibanding saingannya yang lain. Gagak lalu terbang dengan hati yang mantap dan tenang menuju tempat peristirahatannya, mengumpulkan energi buat aksinya besok pagi.

No comments:

Post a Comment